Fenomena Korupsi yang Merajalela: Buah Dari Kutukan Masa Lalu?
Sumber: https://news.detik.com/berita/d-4333251/7-kepala-daerah-yang-dihukum-penjara-karena-korupsi-di-tahun-2018 |
PDB per kapita yang tinggi merupakan tujuan utama mayoritas negara di dunia (Roser, 2016). Hal ini terjadi karena PDB per kapita merupakan indikator termudah untuk menjustifikasi negara ke dalam kategori maju, berkembang, atau miskin. Dalam visi 100 tahun kemerdekaan Indonesia Emas 2045, salah satu tujuan yang ingin dicapai adalah menjadi dengan perekonomian terbesar keempat di dunia. Salah satu ciri dari negara yang dapat bertransformasi menjadi negara berpendapatan tinggi adalah tingkat korupsi yang cenderung rendah (Dwiputri, et al, 2018). Lalu, bagaimana dengan kondisi korupsi di Indonesia?
Fenomena Korupsi di Indonesia
Untuk mengukur dan membandingkan tingkat korupsi sebuah negara,
kita dapat menggunakan alat analisis berupa Indeks Perspektif Korupsi (IPK)
yang diinisiasi oleh organisasi Transparency International. Pada tahun 2020,
IPK yang diraih Indonesia adalah 37 atau turun sebesar 3 poin dari tahun
sebelumnya. Hal ini memvisualisasikan bahwa kondisi korupsi di Indonesia justru
memburuk dengan ranking peringkat yang terus anjlok, dari 85 jatuh tersungkur
ke peringkat 102 (Ramadhan, 2021). Kofi A. Annan, mantan Sekretaris Jenderal
PBB (UN, 2004) menyatakan bahwa “korupsi itu ibarat penyakit menular yang
menjalar perlahan namun mematikan, menciptakan kerusakan yang sangat luas di
masyarakat. Korupsi merusak demokrasi dan supremasi hukum, mendorong
pelanggaran terhadap hak asasi manusia, mendistorsi perekonomian, menurunkan
kualitas kehidupan dan memungkinkan organisasi criminal, terorisme dan berbagai
ancaman terhadap keamanan untuk berkembang”.
Eksternalitas Negatif Korupsi
Korupsi memiliki eksternalitas negatif yang berpengaruh secara
multidimensional. Semakin marak korupsi di sebuah negara, maka kinerja
perekonomian negara tersebut akan semakin memburuk (Dwiputri, et al, 2018). Dengan menggunakan data panel untuk 168 negara di
dunia dari tahun 1995 hingga 2013 antara IPK dan berbagai indikator pembangunan
ekonomi, terdapat beberapa kesimpulan yang dapat diambil jika tingkat korupsi
negara meningkat, yaitu semakin tinggi jurang kesenjangan pendapatan
antara rumah tangga miskin dan rumah tangga berpendapatan menengah ke atas,
semakin buruk indeks pembangunan manusia, semakin tinggi tingkat pengangguran,
semakin rendah kinerja ekonomi yang diukur dari PDB riil per kapita, semakin
tinggi konflik yang terjadi di suatu negara yang pasti mengganggu proses
pembangunan (Dwiputri, et al, 2018).
Kutukan Masa Lalu yang Membelenggu
Mengapa tingkat korupsi di Indonesia bagaikan lingkaran setan yang
tidak pernah terputus? Salah satu penyebab utamanya adalah dampak dari kutukan
masa lalu. Korupsi merupakan warisan kolonial
yang keberadaannya diperkeruh oleh zaman Orde Baru, sehingga menjadi masalah
utama di zaman reformasi sampai detik ini (Carey, 2017). Budaya ini berkembang
sebagai akibat dari resource curse yang menciptakan model perekonomian
ekstraktif yang membelenggu Indonesia hingga saat ini. Melimpahnya
rempah-rempah dan sumber daya alam lainnya menjadi daya tarik bangsa asing
untuk menjejakan kakinya di bumi nusantara. Dalam World System Theory yang
dikembangkan oleh Immanuel Wallerstein (1974), Indonesia termasuk ke dalam
kategori negara periphery yang berfungsi untuk menyuplai raw material
ke pasar global. Dengan kondisi seperti ini, kolonial mengeruk keuntungan
dengan mengeksploitasi alam yang dimiliki Indonesia, seperti kebijakan tanam
paksa. Dari sini bangsa Indonesia dan pemimpin feodal di zamannya melihat bahwa
cara termudah untuk meningkatkan kekayaan adalah dengan mengeruk alam
sebanyak-banyaknya, tidak perlu repot-repot untuk melakukan riset yang memakan
biaya dan waktu. Dari situlah fenomena resource curse di mulai.
Syarat utama agar seseorang dapat memperoleh
kekayaan di dalam kondisi ekonomi ekstraktif adalah kedekatannya dengan
pemerintah. Antropolog James C. Scott dalam “Patron Client Politics and
Political Change in Southeast Asia” (1972) menyebut fenomena tersebut sebagai
relasi patron-klien, perselingkuhan antara pihak penguasa dan juga pengusaha.
Patron merupakan penguasa yang memiliki kekuatan untuk melindungi dan
memberikan jaminan kepada orang dibawahnya, yaitu klien dalam hal ini biasanya
adalah pengusaha. Sebagai ganti atas perlindungan tersebut, klien akan memberikan
“dukungan dan bantuan”, seperti sokongan dana kampanye untuk melanggengkan
kekuasaan. Saat kemerdekaan berhasil diraih Indonesia, praktik-praktik ekonomi
ekstraktif yang memiliki nuansa kedekatan politik pun tidaklah serta merta
menghilang. Benedict Anderson (1983) menggambarkan dengan jeli bahwa meskipun
pasca kemerdekaan Indonesia berhasil menciptakan masyarakat yang baru, tatanan
institusional kenegaraannya yang dianggap modern ternyata masih mengadopsi
karakteristik kolonial. Hal itu tercermin ketika Soeharto dengan Orde Baru-nya
membangun institusi berbasis birokrasi patrimonialistik, praktik korupsi
dibiarkan langgeng asalkan para aparatur sipil dan elite pemerintah tetap
mendukung keberlangsungan Orde Baru. Selain itu, perilaku korupsi sistematis pengadaan kontrak-kontrak
negara yang bernilai ratusan miliar dikuasai oleh kroni-kroni serta keluarga
terdekat dari Presiden Soeharto atau bisa disebut sebagai crony capitalism (Yastika,
2017).
“Jas Merah”
Presiden Soekarno pernah berpesan bahwa “Jas
Merah” jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sebuah
filosofi Yunani yang sangat terkenal “Historia
Vitae Magistra” memiliki arti bahwa sejarah
adalah guru terbaik dalam kehidupan. Dengan menelisik sejarah kita dapat melihat bahwa
fenomena korupsi itu sudah ada bahkan semenjak zaman kolonial, membudaya karena
praktik ekonomi ekstraktif yang merajalela. Terlena dengan kemudahan memperoleh
kekayaan hanya dengan mengeruk alam, Indonesia sampai saat ini masih belum
beranjak dari kategori negara periphery yang menciptakan hubungan
patron-klien. Konsensus sawit, perizinan tambang, izin pembukaan lahan, dan
praktik pengerukan alam lainnya didapatkan berdasarkan kedekatannya dengan kaum
penguasa, sehingga melanggengkan crony capitalism yang sampai detik ini
terus menggerogoti sendi-sendi bangsa dan negara. Oleh karena itu, sudah
sepatutnya berbagai elemen dari bangsa Indonesia untuk bisa lepas dari jeratan resoursce
curse yang menyebabkan institusi ekonomi menjadi ekstraktif. Pemerintah
mesti menciptakan atmosfer birokrasi yang tidak hanya memberantas korupsi yang
telah terjadi, namun menciptakan sistem penanggulangan korupsi agar tidak
terjadi lagi. Hal ini perlu terus diupayakan mengingat bahwa institusi ekonomi
yang ekstraktif dan koruptif akan membawa sebuah negara ke dalam jurang
kegagalan (Acemoglu, 2014).
Daftar Pustaka
Acemoglu, Daron dan James A. Robinson. 2014. Mengapa Negara
Gagal: Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan. Terjemahan oleh Arif
Subiyanto. Jakarta: Gramedia
Anderson, B. (1983). Old state, new society: Indonesia's new
order in comparative historical perspective. Journal of Asian Studies, 42(3),
477-96.
Carey, Peter. 2017. Korupsi
di Indonesia Kontemporer dan Pengalaman Sejarah Inggris 1660-1830. Makalah
Dwiputri,
I. N., Arsyad, L., & Pradiptyo, R. (2018). The corruption-income
inequality trap: A study of Asian countries (No. 2018-81). Economics
Discussion Papers.Wallerstein,
Immanuel. 1974. The modern World System I: Capitalist Agriculture and the
Origins of the European World-Economy in the Sixteenth Century. New York:
Academic Press.
Ramadhan,
Ardito. (2020, 28 Januari). Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada Tahun 2020
Turun Jadi 37, Peringkat 102 Dunia. Diambil kembali dari kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2021/01/28/14120521/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-pada-2020-turun-jadi-37-peringkat-102-di
Scott, J. C. (1972). Patron-client politics and political change in Southeast Asia. The American political science review, 66(1), 91-113.
Yastika, Ahmad Erani dan Muhammad Rahmat. 2017. Di bawah bendera pasar: Dari Nasionalisasi Menuju Liberalisasi Ekonomi. Jakarta: Empat Dua
Komentar
Posting Komentar