Gotong Royong Budaya KIta
Beribu-ribu pulau yang terbentang dari ujung barat
pulau weh hingga ke ufuk timur kota merauke, ribuan suku yang tersebar dari
utara Pulau Miangas sampai selatan Pulau Rote, serta kekayaan alamnya yang
terhampar dari puncak Gunung Jayawijaya menuju dalamnya dasar laut jawa
merupakan suatu anugerah yang dimiliki oleh negara dan bangsa Indonesia yang
patut untuk disyukuri. Dengan segala kekayaan yang diiringi oleh keberagaman
ini Indonesia bisa menjadi negara terdepan dengan pengaruh yang besar, namun
keberagaman ini seperti pisau bermata dua karena jika tidak ditangani dengan
baik hal ini justru akan menimbulkan pertentangan, perpecahan, bahkan
keruntuhan bagi bangsa ini. Untuk itu semboyan bangsa “Bhineka Tunggal Ika”
sebagai simbol semangat persatuan merupakan hal yang harus ditanamkan oleh
setiap jiwa ditengah perbedaan yang ada agar atmosfer kehidupan bangsa dapat
terjaga. Salah satu bentuk perwujudan nyata gaungan persatuan serta visualisasi dari Sila ke-3 Pancasila “Pesatuan
Indonesia” ini adalah budaya Gotong Royong.
Secara sederhana
gotong royong dapat ditafsirkan sebagai suatu sikap dan perbuatan yang
dilakukan oleh banyak orang secara bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Presiden Republik
Indonesia pertama, yakni Presiden Soekarno, bahkan menyampaikan jika gotong
royong merupakan “jiwa” masyarakat Indonesia pada sidang Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di tahun 1945. Kegiatan yang dilakukan
secara swadaya ini dahulu merupakan hal yang sangat mudah untuk ditemukan
disegala aspek kehidupan bermasyarakat
karena meupakan suatu hal yang dapat dikatakan sebagai budaya bangsa.
Di tengah zaman
milenial dengan segala arus globalisasi dan
modernisasinya ini, budaya gotong royong menjadi
hanya sebatas ekspetasi dan bualan semata namun tak ada realisasinya. Hal ini
tercermin dari sikap dan hubungan antar masyarakat yang bisa dianggap acuh tak
acuh terutama diperkotaan dengan aktivitas yang begitu dinamis, salah satu bentuk sikap “masa bodoh” tersebut adalah
fenomena tetangga tapi tak kenal . Mereka seakan terjerumus ke dalam lubang
individualisme yang sebenarnya merupakan momok yang sangat menakutkan bagi keberlangsungan roda Zamrud Khatulistiwa ini. Satu individu
dengan individu lainnya dapat dianalogikan sebagai jahitan yang menyatupadukan
berbagai potongan kain menjadi sebuah baju yang indah, jika benang-benang itu
putus maka potongan demi potongan kain akan tercerai berai dan pakaian indah
pun akan sirna.
Hal ini merupakan dampak dari kemajuan inovasi
teknologi komunikasi, yaitu internet dan gawai. Disamping memiliki begitu
banyak manfaat ternyata dengan terciptanya internet dan gawai juga dapat menghilangkan
tenggang rasa antar sesama seperti bergotong royong. Kalangan remaja merupakan
target yang empuk bagi gelombang tekhnologi ini, dimana remaja merupakan salah
satu aspek yang sangat vital bahkan hal yang paling penting keberadaannya bagi
bangsa Indonesia. Jiwa bibit-bibit penerus bangsa ini seakan tertutupi oleh
gelapnya dunia maya yang merupakan gerbang dari
sikap apatis. Mereka seaakan lupa
serta tak peduli dengan hal disekelilingnya dan terpaku pada dunia yang terlihat dari
layar selebar 5 inchi tersebut. Mereka acuh terhadap orang yang dekat dengannya
dan mementingkan orang di luar sana yang tidak jelas keberadaannya, memang
benar pepatah mengatakan bahwa “yang dekat menjadi jauh dan yang jauh menjadi
dekat”. Bagaimana bisa negara dapat terus berjalan sedangkan remaja sebagai rantai yang menggerakannya terputus-putus?
Parahnya, kebudayaan gotong royong
ini disalahartikan oleh remaja zaman now
sebagai bentuk sikap yang
mengarah
kepada kejahatan dan kecurangan. Kita dapat mengambil
contoh kecil saja ketika kegiatan menyontek sudah menjadi hal lumrah yang yang
dilakukan sebagian besar pelajar di Indonesia dan tawuran yang dapat dikatakan sebagai hobi daripada kalangan pelajar insan pendidikan.
Sumber gambar : www.indragunawan.com
Komentar
Posting Komentar