Disrupsi Ketahanan Pangan di Tengah Pandemi
*Sebuah analisis sederhana yang terdorong karena keprihatinan penulis terhadap ketahanan pangan Indonesia di masa pandemi. Selamat Menikmati :)
Tidak
terasa kita telah memasuki hari ke-71 sejak kasus covid-19 ini pertama kali
diumumkan oleh Presiden Joko Widodo. Tak ada yang menyangka bahwa fenomena yang
awal mula diyakini berasal dari Kota Wuhan di Tiongkok ini dapat menyebar
hingga ke penjuru dunia. Data yang dirangkum oleh worldmeters
menyebutkan bahwa per 12 Mei 2020, virus yang termasuk dalam keluarga corona
ini telah menjangkiti hingga 4.254.036 pasien di seluruh dunia dengan jumlah kematian
mencapai 286.655 dan kasus yang terkonfirmasi sembuh sebesar 1.521.921.
Hal
ini merupakan sebuah kejadian yang sangat luar biasa, extraordinary time,
dan tak pernah tercatat dalam sejarah dunia manapun, bahwa krisis yang menimpa
sektor kesehatan dapat membawa gelombang ketidakpastian yang besar bagi berbagai
sektor kehidupan manusia, tak terkecuali sosial dan ekonomi.
Berbicara
masalah sosial-ekonomi, tak elok jika kita mengesampingkan permasalahan yang
menjadi kebutuhan primer setiap manusia, sandang, pangan, dan papan. Pandemi
yang masih terus berlangsung ini juga turut mendisrupsi berbagai pemenuhan
kebutuhan mendasar manusia, terkhusus pangan dengan istilah bekennya “ketahanan
pangan” di Indonesia.
Tinjauan
Teoritis Ketahanan Pangan
Menilik
hasil kesepakatan World Food Summit 1996 yang diselenggarakan oleh FAO
(1996) Ketahanan pangan didefinisikan sebagai sebuah situasi dimana semua rumah
tangga mempunyai akses, baik secara fisik maupun ekonomi bagi setiap anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan yang cukup, aman, dan
bergizi, sehingga dapat mencukupi kebutuhan gizi sehari-hari sesuai dengan
preferensinya.
Sejalan dengan hal di atas, Indonesia sebagai entitas negara
mendefinisikan ketahanan pangan melalui UU No. 18/2012 tentang Pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup
sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan".
Dari kedua definisi mengenai pangan di atas, kita dapat
menarik sebuah benang merah bahwasanya ketahanan pangan ini ditopang oleh
berbagai faktor, seperti ketersediaan pangan, akses pangan, pemanfaatan pangan,
serta stabilitas pangan (Rita, 2010).
Ketersediaan pangan dapat diartikan sebagai keadaan dimana
secara rata-rata pangan tersedia untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat.
Akses pangan memiliki pengertian bahwa individu memiliki kemampuan untuk
mengakses sumber pangan yang dapat memenuhi ketercukupan gizi dalam menunjang
kehidupan mereka. Pemanfaatan pangan merupakan sebuah konsep dimana ketahanan
pangan tidak dapat terpenuhi jika mengandalkan sektor pangan semata, namun
mesti dibarengi dengan tersedianya fasilitas non-pangan, seperti pemanfaatan makanan
melalui pola makan yang memadai, air bersih, sanitasi dan perawatan kesehatan
untuk mencapai keadaan kesejahteraan gizi di mana semua kebutuhan fisiologis
terpenuhi. Stabilitas yang mencerminkan bahwa sesulit apapun keadaan
sosial-ekonomi sebuah negara (baca: krisis atau paceklik), konsumsi pangan
tidak akan jatuh dibawah kebutuhan gizi yang dianjurkan (Rita, 2010).
Dengan penduduk yang begitu besar, diproyeksikan mencapai
angka 269,6 juta jiwa pada tahun 2020 (BPS, 2015), ketahanan pangan ini merupakan
suatu isu sensitif yang kajiannya selalu menjadi topik hangat bagi para
pemangku kebijakan begitupun masyarakat awam. Ditengah pandemi covid-19 yang
menimpa dunia tak terkecuali Indonesia, ketahanan pangan muncul sebagai salah
satu diskursus yang menjadi concern pemerintah, disamping sektor
kesehatan dan ekonomi secara agregat.
Terguncangnya ketahanan pangan di Indonesia pada era pandemi
ini dapat kita telaah melalui dua hal terpenting yang membangun pondasi ketahanan
pangan tersebut, yaitu disrupsi pada sisi supply ketersediaan pangan
serta disrupsi pada sisi demand pangan akibat terdistorsinya daya beli
masyarakat yang menghambat akses terhadap pangan. Jika kedua hal ini terjadi
maka akan menyebabkan instabilitas dalam ketahanan pangan di era krisis saat
ini.
Disrupsi Rantai Pasokan Pangan
Terguncangnya sisi penawaran pangan saat era pandemi ini
dapat tercermin dari adanya penelitian yang memprediksi bahwa terdapat penurunan
penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sebesar 4,87% karena kematian,
kerentanan terpapar virus, pembatasan pergerakan atau mobilitas (misalnya, akibat
PSBB), dan merawat anggota keluarga yang terpapar virus (McKibbin &
Fernando, 2020). Kondisi tersebut menjadi kendala dalam siklus produksi sektor
pertanian domestik yang diprediksi akan menurun sebesar 6,20% (McKibbin &
Fernando, 2020)
Beroperasinya industri makanan pada saat pandemi ini juga
memakan biaya lainnya, seperti proses pengajuan izin. Walau telah dipermudah
dengan proses perizinan secara daring, izin-izin tersebut tetap bisa
menciptakan gangguan signifikan ketika pihak berwenang menginterpretasi
industri pangan sebagai fasilitas yang memproduksi produk pangan jadi saja.
Bagaimanapun, rantai pasok pangan terdiri tidak hanya dari fasilitas pemrosesan
pangan tetapi juga termasuk rantai pasok pertanian serta material kemasan dan
industri pendukung lainnya.
Selain itu, pandemi ini juga membawa derita bagi Indonesia
dalam pengadaan investasi termasuk dalam sektor pertanian. Berdasarkan data
yang dihimpun oleh BKPM, Penanaman modal asing (PMA) pada triwulan pertama 2020
turun 9,2%, menjadi Rp 98 triliun dibandingkan triwulan pertama 2019 sebesar Rp
107,9 triliun. Hal tersebut memiliki dampak negatif karena investasi
merupakan salah satu bentuk modal bagi industri yang bergerak di dalam industri
makanan dan juga pertanian untuk mengembangkan kapasitas produksi mereka.
Pelaksanaan PSBB telah menyebabkan gangguan pada
transportasi logistik. Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun
2020 melarang perjalanan darat, laut, dan udara ke dan dari area zona merah
penularan Covid-19 antara 14 April hingga 31 Mei guna mencegah eksodus
besar-besaran sepanjang libur Hari Raya Idul Fitri (Kementerian Perhubungan,
2020).
Terlebih sebagian besar pusat produksi pangan nasional
berada di pulau Jawa yang mana banyak daerah di Pulau Jawa yang menjadi lumbung
pangan merupakan pusat pandemi. Jawa Tengah adalah produsen beras terbesar
dengan total produksi 5,52 juta ton pada tahun 2019 (Badan Pusat Statistik,
2020). 51,15% gula Indonesia diproduksi di Jawa Timur pada tahun 2018 (Badan
Pusat Statistik, 2018). Jawa Barat adalah produsen daging ayam terbesar dengan
total produksi sebesar 886.752 ton di tahun 2019 (Kementerian Pertanian, 2019).
Komoditas-komoditas tersebut tidak hanya didistribusikan ke daerah-daerah
tetangganya, tetapi juga ke seluruh Indonesia.
Peraturan transportasi logistik menetapkan titik
pemeriksaan transportasi pada titik akses utama seperti jalan tol dan
pelabuhan. Untuk transportasi barang, truk yang mengangkut barang pokok,
logistik, dan pasok medis dikecualikan (Pasal 5). Namun, titik-titik
pemeriksaan di jalan dan pelabuhan dapat menyebabkan antrian panjang truk untuk
diperiksa, maka kemudian bisa menyebabkan kekurangan pasok meskipun stok
sebetulnya banyak di wilayah-wilayah produksi.
Wabah penyakit
covid-19 ini turut serta mendorong insentif bagi berbagai negara di belahan
dunia untuk menerapkan kebijakan unilateral dengan membatasi ekspor mereka. Hal
ini tentunya merupakan kenyataan yang sangat memilukan bagi Indonesia, karena Indonesia
merupakan negara dengan ketergantungan impor yang cukup tinggi. Pada 2018, 95%
pasokan bawang putih Indonesia, 24% pasokan daging sapi, dan 55% pasokan gula
datang dari luar negeri (Asogiyan, 2018; Respatiadi & Nabila, 2017;
McDonald & Meylinah, 2019; Kementerian Pertanian, 2020).
Contoh nyata dari
deglobalisasi dalam sektor perdagangan internasional ini adalah terhambatnya
realisasi perjanjian informal Indonesia untuk mengimpor 200.000 ton daging
kerbau dari India dan juga untuk menaikkan jumlah impor gula, sebagai balasan
untuk ekspor minyak sawit Indonesia (Das & Ahmed, 2020). Berdasarkan
perjanjian tersebut, Bulog berencana untuk mengimpor 5.000 ton daging kerbau
India sebelum Ramadan, akan tetapi sekarang terkendala oleh kebijakan lockdown India, sesuai dengan wawancara dengan direktur Bulog (Yuniartha, 2020).
Ekspektasi harga pangan ditengah krisis ini juga cenderung
meningkat. Hal ini menjadi sebuah insentif bagi para “pedagang nakal” untuk
menimbun bahan makanan tersebut, sehingga membuat harga semakin melambung tinggi.
Berbagai gangguan
yang diakibatkan oleh pandemi ini menyebabkan ketersediaan bahan pangan di
sejumlah daerah di Indonesia mengalami defisit. Sebanyak 31 provinsi di
Indonesia mengalami defisit ketersediaan bawang putih, disusul oleh defisit
stok gula pasir yang menimpa 30 provinsi. Defisit cabai di 23 provinsi, telur
ayam di 22 provinsi, jagung di 11 provinsi, dan juga deficit beras yang dirasakan
oleh 7 provinsi di Indonesia (Jayani, 2020).
Virus Datang, Pendapatan Hilang
Wabah virus Covid-19 yang telah
menjadi pandemi ini menggoreskan luka dan derita bagi masyarakat Indonesia. n mencatat total pekerja yang terkena pemutusan hubungan
kerja () dan per 16 April
2020 mencapai 1,94 juta pekerja.
Pandemi juga menghantam kegiatan
bisnis Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Riset
dari startup penyedia layanan kasir digital Moka mengungkapkan, pendapatan UMKM
sektor kuliner, ritel fesyen, dan layanan kecantikan turun lebih dari 30%
selama pandemi virus corona. Penurunan ini seiring perubahan perilaku konsumen
yang cenderung mengandalkan layanan online terutama dengan kebijakan pemerintah
untuk bekerja dan belajar di rumah. Sektor kuliner mengalami penurunan
pendapatan harian mencapai 37%. Sektor ritel fesyen turun 35%, sedangkan
layanan kecantikan anjlok 43%.
Sektor pariwisata
juga merupakan salah satu sektor yang paling terdampak corona effect.
Jika sektor lain, seperti fesyen dan kuliner dapat diantisipasi menggunakan
kecanggihan teknologi, sehingga meinimalisir kehadiran fisik, tidak halnya
dengan pariwisata ini. Hal tersebut terjadi lantaran pariwisata merupakan user
experience yang utilitasnya hanya bisa didapat dengan kehadiran fisik dan
tidak dapat digantikan dengan virtual. Data dari Moka (2020) juga menunjukan
bahwa Sebanyak 73% konsumen juga tidak berlibur sejak darurat COVID-19.
Keterbatasan dalam melakukan
kegiatan pariwisata ini memberikan dampak negatif berupa penurunan pendapatan
bagi masyarakat yang bekerja di dalam sektor tersebut. Provinsi Bali yang menjadi
ikon destinasi pariwisata Indonesia merupakan salah satu daerah yang merasakan
pukulan terdalam akibat Covid-19. Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) menyatakan Bali berpotensi merugi hingga Rp138,6 triliun atau US$9
miliar (mengacu pada kurs Rp15.400 per dolar AS) akibat pandemi Hal
ini jelas merupakan sinyal negatif bagi keberlangsungan hidup masyarakatnya
karena seperti yang disampaikan oleh Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha
Ardana Sukawati bahwa lebih dari 60 persen dari pendapatan masyarakat Pulau
Dewata berasal dari sektor tersebut.
Berbagai fakta yang telah
dipaparkan di atas membuahkan sebuah titik temu bahwasanya Covid-19 ini
berdampak serius terhadap penurunan daya beli masyarakat secara umum. Lemahnya
daya beli masyarakat dapat menjadi indikasi menurunnya ketahanan pangan sebuah
negara. Mengapa? Karena dengan pelemahan tersebut maka akses masyarakat
terhadap pangan akan semakin terbatas terlebih di era pandemi yang juga
mendisrupsi sisi penawaran.
Analisis Pendekatan Kurva
Permintaan dan Penawaran
Sekilas dengan adanya penurunan dalam
penawaran dan juga permintaan akan membuat perubahan harga menjadi ambigu, bisa
turun, naik, atau konstan tergantung sisi mana yang paling terdampak.
Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi manusia, sehingga secara sederhana dapat dikatakan bahwa terlepas dari perubahan yang signifikan dalam harga dan pendapatan, konsumsi atas pangan ini memiliki nilai yang relatif konstan atau hanya sedikit berfluktuasi. Dalam istilah ekonomi, pangan merupakan barang inelastis yang memiliki tingkat elastisitas harga dan pendapatan yang relatif kecil, berkisar antara 0 – 1.
Pangan merupakakan barang yang inelastis
terhadap harga tercermin dari hasil analisis yang dilakukan oleh Litbang
Kemendag menunjukan bahwa bahan pangan, khususnya beras memiliki tingkat
elastisitas yang sangat rendah (Nur, Y. H., Nuryati, Y., Resnia, R., & Santoso,
A. S., 2012). Tingkat elastisitas terhadap pendapatan yang rendah juga
tervisualisasi dari data yang menunjukan bahwa masyarakat
Indonesia rata-rata mengeluarkan 51% dari pendapatan bulanannya untuk makanan,
sementara masyarakat prasejahtera atau yang berada di bawah garis kemiskinan
mengeluarkan sekitar 62,76% (Ilman, 2020).
Terjadinya supply
and demand shock menyebabkan kurva permintaan dan penawaran pangan bergeser
ke kiri, namun pergeseran dalam penawaran jauh lebih besar dibandingkan dengan
permintaan yang disebabkan oleh tingkat elastisitas pendapatan yang rendah.
Kurva permintaan juga memiliki kemiringan yang curam sebagai akibat dari
keinelastisan harganya. Curamnya kurva permintaan menjadi sinyal bahwa dampak
negatif terdisrupsinya permintaan dan penawaran ini memiliki dampak yang lebih
besar terhadap konsumen.
Terlihat bahwa telah terjadi
peningkatan dalam keseimbangan harga karena terjadinya penurunan dalam
permintaan dan penawaran karena pandemi berdasarkan analisis menggunakan kurva
permintaan dan penawaran sederhana. Hal ini juga dapat dibuktikan secara
empiris melalui data kenaikan harga pangan di
Indonesia. Harga rata-rata beras di wilayah Indonesia selama minggu pertama bulan
April adalah Rp11.900,- per kilogram, ada kenaikan sebesar 1,28% dari harga pada bulan Desember 2019. Di provinsi-provinsi yang memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seperti DKI Jakarta, harga beras bahkan lebih tinggi, hingga Rp13.500,- per kilogram di pasar-pasar tradisional. Kenaikan harga untuk komoditas pangan yang perlu diimpor bahkan lebih signifikan. Dari Desember hingga pertengahan April 2020, harga gula meningkat hingga 32,97% menjadi Rp18.350,- per kilogram, bawang putih meningkat sebanyak 35,64% menjadi Rp43.200,- per kilogram, sementara harga daging sapi tetap tinggi di angka Rp117.750,- per kilogram (McKibbin & Fernando, 2020).
Jelas hal ini
sangat mengkhawatirkan. Dengan fenomena menurunnya tingkat pendapatan nominal
yang dibarengi dengan peningkatan harga jelas akan mereduksi pendapatan riil
masyarakat. Hal ini akan berdampak pada lemahnya akses masyarakat terhadap
sektor pangan. Konsumsi rumah tangga Indonesia untuk komoditas pertanian
diprediksi akan menurun sebesar 8,29% dari angka seharusnya jika Covid-19 ini
tidak ada (McKibbin & Fernando, 2020). Ketidakmampuan untuk mengonsumsi
makanan sehat dan bernutrisi yang cukup dapat menekan sistem imunitas dan
meningkatkan risiko kesehatan, terutama untuk masyarakat prasejahtera dan
rentan, sehingga meningkatkan resiko terpapar virus corona ini pula.
Kolaborasi Aktif
Perkuat Ketahanan Pangan
Dalam mendorong
daya beli masyarakat pemerintah melakukan berbagai stimulus fiskal sebagai
bagian dari social safety net, seperti Program Keluarga Harapan, Kartu
Pra-Kerja, Bantuan Pangan Non Tunai, dan berbagai kebijakan pusat maupun daerah
lainnya. Namun, perlu diingat bahwa selain mendorong permintaan agar meningkat,
pemerintah juga mesti mendorong peningkatan dalam sisi penawaran pula. Mengapa
demikian? Karena berbagai bentuk bantuan tersebut, apalagi yang berbentuk tunai
menjadi tidak berarti ketika peningkatan permintaan tersebut justru menggradasi
harga karena tidak dibarengi dengan peningkatan penawaran tadi.
Kebijakan yang
dapat ditempuh oleh pemerintah dalam mendukung ketahanan pangan di tengah
pandemi ini adalah menjamin siklus produksi pangan dari hulu ke hilir. Hal ini
dapat diimplementasikan melalui kemudahan serta integrasi dalam penerbitan izin
tersebut, sehingga satu izin dapat dipakai untuk melaksanakan banyak kegiatan,
seperti produksi dan juga distribusinya.
Pemerintah juga perlu menyiapkan protokol-protokol pencegahan dan penanganan covid-19 yang mesti ditaati industri dalam berkegiatan di tengah pandemi. Sanksi juga mesti diberlakukan bagi perusahaan yang tidak menerapkan standar higienitas, sehingga diharapkan menimbulkan efek jera bagi perusahaan dalam industri sejenis.
Akses terhadap
fasilitas penyangga distribusi, seperti pelabuhan juga tetap mesti dibuka agar
distribusi pangan khususnya dari daerah produsen yang mengalami surplus menuju daerah
yang terkendala masalah stok pangan. Fasilitas-fasilitas tersebut harus
dilengkapi dengan upaya perlindungan yang memadai seperti masker dan fasilitas
cuci tangan atau hand sanitizers untuk melindungi para pekerja. Pengiriman
logistik pangan oleh pengusaha-pengusaha ritel Indonesia diharapkan dapat mengutamakan
produk/komoditas pangan ”tier 1” (pangan pokok), dibanding kebutuhan pangan
”tier 2” (biskuit, snack, dll). Dalam proses pengiriman bahan makanan tergolong
”fresh food”, pengiriman dengan cold-storage yang memadai harus dijamin.
Pemerintah juga diharapkan dapat
mengurangi bahkan meniadakan tarif impor pangan yang selama ini menjadi hambatan
dalam perdagangan. diversifikasi negara impor juga mesti digalakan ditengah
proteksionisme negara-negara lain terutama yang menjadi tujuan impor
tradisional. Untuk mempersingkat regulasi yang biasanya terjadi, pemerintah melalui
Kementerian Perdagangan sebaiknya menghapus SPI
dan persyaratan kuota untuk komoditas pokok seperti daging sapi dan gula.
Importir mana pun dengan Angka Pengenal Importir (API) seharusnya diizinkan
untuk bertindak secepatnya. Sistem perizinan otomatis sudah diaplikasikan di
Singapura, Malaysia, dan Amerika Serikat (ASEAN Briefing, 2020a; ASEAN Briefing
2020b) dan menghasilkan dampak yang positif untuk mendapatkan komoditas pangan
segera dalam rangka antisipasi kenaikan harga dunia. Meskipun demikian,
prosedur karantina dan prosedur sanitari lainnya tetap harus dijalankan untuk
memastikan kualitas pangan.
Terakhir sebagai
penutup, penulis juga mengajak masyarakat, khususnya yang berkemampuan lebih
untuk ikut serta secara aktif dalam membantu saudara-saudara kita yang
terdampak. Hal ini dapat dilakukan dengan ikut memberikan bantuan material yang
mampu meringankan beban masyarakat terdampak yang kesulitan dalam mengakses
sumber pangan yang vital bagi kehidupannya. Organisasi-organisasi nirlaba memiliki peran strategis yang dapat mengakomodir semangat berbagi masyarakat yang terbentuk karena pandemi ini. Berdasarkan data Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2018, Indonesia merupakan negara paling dermawan di dunia dengan skor 59 persen. Sedikit bantuan dari masyarakat
mampu mampu memberikan utilitas yang besar bagi mereka (ini terlalu utilitarian
sih, tapi ya boleh lah di tengah pandemi kayak gini mah hehehe).
Sumber Gambar : www.bussinestoday.id
Sumber :
Ahmad, Fahmi. 2020. “Dampak Corona
terhadap Penurunan Pendapatan UMKM” di https://katadata.co.id/berita/2020/04/15/bisnis-anjlok-akibat-pandemi-corona-umkm-bisa-ubah-strategi-usaha
14 Mei 2020 pukul 17.00
Amanta, F. dan Aprilianti, Ira.
(2020). Ringkasan Kebijakan No. 1: Kebijakan Perdagangan Pangan Indonesia saat
COVID-19. Jakarta: Centre for Indonesia Policy Studies.
Arifin, Bustanul. 2005. Pembangunan: Paradigma Kebijakan dan Strategi
Revitalisasi. Jakarta: Grasindo
BPS. 2015. “Proyeksi Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 2020” di https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/01/02/inilah-proyeksi-jumlah-penduduk-indonesia-2020 13 Mei 2020 pukul 16.56
CNN. 2020. “Dampak Pandemi terhadap
Pariwisata Bali” di https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200424184540-92-497101/pariwisata-bali-rugi-rp138-t-karena-corona
14 Mei 2020 pukul 16.50
CNN. 2020. “Jumlah Pekerja yang di
PHK dan Dirumahkan” di https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200420133902-92-495246/total-pekerja-kena-phk-dan-dirumahkan-194-juta-orang
14 Mei 2020 pukul 17.20
Hamdani, Trio. 2020. “Penurunan
Investasi Asing Triwulan I 2020” di https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4988160/investasi-asing-anjlok-imbas-corona-ri-genjot-dari-dalam-negeri
14 Mei 2020 pukul 18.32
Hanafie, Rita. 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian. Yogyakarta: Penerbit
Andi
Katadata. 2020. “Defisit Pangan di
Sejumlah Provinsi di Indonesia” di https://katadata.co.id/infografik/2020/05/07/krisis-pangan-akibat-covid-19
13 Mei 2020 pukul 21.16
Mayasari, Dewi., Satria, Dias., dan
Noor, Iswan. (2018). Analisis Pola Konsumsi Pangan Berdasarkan Status IPM di
Jawa Timur. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Vol. 18 No. 2, 191–213
Nur, Y. H., Nuryati, Y., Resnia,
R., & Santoso, A. S. (2012). Analisis Faktor dan Proyeksi Konsumsi Pangan
Nasional: Kasus pada Komoditas: Beras, Kedelai dan Daging Sapi. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, 6(1), 37-52.
Patunru, A. Octania, G., dan Audrine, P. (2020) Ringkasan Kebijakan Penanganan Gangguan
Rantai Pasok Pangan di Masa Pembatasan Sosial. Jakarta Centre for Indonesia
Policy Studies
Wahyu, Arif., Masyhuri., dan Handoyono,
Jangkung. (2017). Faktor Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan di
Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi vol. 28/No.2, 205
Worldmeters. 2020. “Data Pasien Terinfeksi Covid-19 di Indonesia” di https://www.worldometers.info/coronavirus/country/indonesia/ 12 Mei 2020
pukul 16.08
Yulia, Vhendi. 2020. “Kenaikan Harga Sejumlah Bahan Pangan di Pasar” di
https://nasional.kontan.co.id/news/harga-sejumlah-bahan-pangan-pokok-naik-di-pasaran-ini-kata-kppu?page=all
14 Mei 2020 pukul 17.50
ajib banget brader, open qna dong di whatsapp ahahha
BalasHapuswalah walah yang bener aja hehehe
HapusZakiiii semangattt yaaa aku selalu dukung kamuuu pokoknyaa doa terbaikku menyertaimuu
BalasHapus