Meritokrasi: Budaya Justifikasi Ketimpangan
Sumber: https://www.kla.id/lagi-siswa-kaltara-raih-prestasi-membanggakan/ |
Ketimpangan merupakan sebuah
fenomena sosial yang makin menghantui eksistensi sebuah negara. Pada tahun
2017, 10% orang terkaya di dunia menikmati hampir 80% kekayaan dunia (Orrel,
2017). Meminjam istilah dari David Orrel, CEOnomics, kata pembuka dalam sub bab
ketidakadilan ekonomi yang ditulisnya dalam buku Economyths, menyebutkan
bahwa gaji yang diterima CEO di Amerika, khususnya yang bergerak dalam bidang
teknologi 350 kali lipat lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata gaji
seluruh karyawan di Amerika (Orrel, 2017). Thomas Piketty dalam buku
fenomenalnya, Capital in the 21st Century menyebut fenomena
tersebut sebagai Hypermeritocratic Society, persentase kecil
orang (tenaga kerja dengan keahlian tinggi) mendapatkan jauh lebih banyak uang
dari pekerjaan mereka.
Anomali Meritokrasi
Jurang ketimpangan yang semakin
lebar antara kaum elit dan mereka yang terbelakang diperparah dengan
adanya prinsip meritokrasi yang membudaya. Secara sederhana kita dapat mendefiniskan
meritokrasi sebagai penilaian terhadap seseorang berdasarkan “merit” yang ia
miliki. Hal itu dapat berarti prestasi, kekayaan, kekuasaan, atau hal lain yang
menjadikan ia pantas untuk dihargai. Prinsip utama yang melandasi berdirinya
prinsip tersebut adalah kondisi setiap individu yang memiliki kesempatan yang
sama dan dapat bersaing dengan adil, sehingga menciptakan masyarakat
berdasarkan prestasi. Meritokrasi memiliki pandangan yang senada dengan konsep
keadilan liberatarian yang vocal digaungkan oleh Milton Friedman. Penghargaan
sebesar-besarnya terhadap kebebasan individu merupakan ide utama dalam konsep
keadilan ini, ketika dalam pelaksanaannya terdapat ketidakadilan, hal itu
merupakan sesuatu yang alami karena memang hidup pada dasarnya tidak adil
(Tarigan, 2018).
Kedua hal di atas melupakan sebuah
fakta bahwa dalam realita, seringkali kita memiliki kesempatan yang jauh
berbeda karena perbedaan ras, gender, agama, dan bentuk categorical
inequality lainnya. Bahkan, jika kita memiliki kesempatan yang sama, garis
finish yang mesti ditempuh pun berbeda, ada yang panjang berliku dengan
bebatuan besar yang menghalangi, namun ada pula orang yang memiliki jalan yang
lurus dengan kerikil-kerikil kecil serta jarak tempuh yang pendek. Kita tak
bisa memilih akan lahir dari keluarga dengan latar belakang seperti apa, pada
faktanya hal tersebut sangat berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dan status
sosial yang dimiliki si anak ketika dewasa (Naidu, Bowles, Carlin and
Segal, 2017).
Keluarga yang memiliki kondisisi finansial yang lebih baik umumnya
memiliki latar belakang pendidikan yang lebih baik, sehingga penanaman baik
dari segi etika dan akademik cenderung lebih baik pula. Selain itu, dengan
kondisi finansial yang mencukupi dapat memiliki efek multiplier lainnya,
seperti akses kesehatan yang lebih baik, kanal pendidikan yang lebih memumpuni
dan berkualitas, serta warisan yang akan mereka terima nantinya, sehingga
berpengaruh terhadap pendapatan si anak (Leibowitz, 1974)
Lalu bagaimana dengan nasib anak yang
tak seberuntung “tuan muda” tersebut? Jelas pendapatan dan kekayaan yang akan
dimilikinya cenderung berbanding terbalik dengan mereka yang terlahir dari
keluarga kaya. Keadaan ini dapat menjadi sebuah rantai yang dapat membelenggu
mereka yang terlahir miskin untuk tetap miskin dan terjerat dalam poverty
trap. Kemiskinan dan ketimpangan dapat menjadi sebuah lingkaran setan yang
tidak pernah putus. Ketimpangan juga dapat berefek terhadap ketimpangan politik
dan menimbulkan apa yang disebut sebagai political business cycle (Stighlitz,
2012). Ketika banyak dari bisnis-bisnis besar berkembang bukan karena kemampuan
dan kualifikasi yang baik, namun karena perselingkuhannya dengan jajaran
birokrat, rent-seeking behaviour yang terjadi dan menciptakan bisnis
yang terjalin dalam lingkaran oligarki atau crony capitalism (Rahmat dan
Yustika, 2017). Fenomena tersebut diistilahkan dengan sebutan kemiskinan
struktural. Siapa sih yang mau miskin? Pasti tak kan ada dari kita yang
mau mengalami hal tersebut, begitupun orang yang berada di bawah garis
kemiskinan. Mereka miskin bukan karena malas untuk berusaha, tapi memang karena
ketidaksempurnaan sistem sosial dalam mendukung dan menyediakan kesempatan yang
sama untuk mengakses berbagai fasilitas yang dapat meningkatkan endowment individu
untuk menyesuaikan dengan pasar tenaga kerja. Sebagai contoh kecil saja, anak
dengan fasilitas yang memadai pasti memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam
mengakses internet, laptop, dan barang elektronik lainnya yang sangat
dibutuhkan dalam revolusi industri ini jika dibadningkan dengan mereka yang tak
punya kemampuan untuk membeli dan mengaksesnya.
Perbedaan antara idealisme yang dibawa
meritokrasi dengan realita yang sebenarnya terjadi menurut Michael Sandel,
dalam buku karangan terbarunya “The Tyranny of Merit What’s Become of Common
Good”, bahwa meritokrasi pada akhirnya akan menjadi justifikasi atas
ketimpangan yang terjadi. Prinsip tersebut juga membawa masyarakat terhadap
pandangan kesuksesan yang keliru. Pengabaian terhadap faktor lain yang di ceteris
paribuskan dalam padangan meritokrasi membuat masyarakat terpecah antara
mereka yang sukses dan dipuja dengan mereka yang gagal dan harus menerima
berbagai hinaan. Keangkuhan mereka yang
berada di puncak kesuksesan akan semakin menjadi terhadap mereka yang berada di
jurang kegagalan.
Memperbaiki Filosofis dan Menyetarakan
Realistis
Michael Sandel menyebutkan bahwa
alternatif terbaik untuk memberantas ketimpangan adalah memperbaiki justifikasi
terhadap ketimpangan itu sendiri. Menciptakan sebuah penghargaan sosial di mana
semua orang dapat saling menghargai terlepas dari kredensial yang mereka
miliki. Melahirkan sebuah keadaan yang dapat menghendaki setiap insan untuk
dihargai walaupun tidak dapat naik kelas. Mewujudkan masyarakat yang lebih
memaknai proses ketimbang hasil semata. Berbagai hal tersebut dapat menciptakan
sebuah atmosfer kehidupan yang lebih baik tanpa adanya diskriminasi terhadap
pendapatan. Di sini Sandel lebih menekankan bahwa dalam menilai sebuah
kesuksesan dan kegagalan yang perlu jadi perhatian adalah etos kerja yang
dikorbankan, bukan dari kekayaan dan pendapatan semata.
Namun menurut hemat penulis, keadaan
tersebut too good to be true dan sulit untuk diaplikasikan. Mengapa
demikian? Dalam behavioral economics masyarakat akan menilai lebih apa
hal yang dapat terlihat oleh dirinya dan cara termudah untuk menjustifikasi
seseorang adalah pendapatan dengan basis monetary value yang ada. Tak
salah dan bahkan harus untuk menciptakan dunia yang seperti itu, namun selain
itu kita juga mesti memberantas ketimpangan bukan hanya pada justifikasinya
saja, tapi juga realita yang ada dan dapat dilihat.
Daftar Pustaka
Cea, Camila. et all 2016. The Economy. UK: Oxford Press
Orrel, David.
2017. Economyths: 11 Ways Economics Gets it Wrong. UK: Icon Books
Piketty, Thomas. 2013. Capital in the Twenty-First Century.
France: Éditions du Seuil,
Sandel, Michael. 2020. The Tyranny
of Merit: What's Become of the Common Good. USA: Starus and Giroux
Tarigan, Andi. 2018. Tumpuan
Keadilan Rawlsian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
sukses terus zakii... saranghae
BalasHapus