Menghadapi Jebakan Kelas Menengah di Kala Pandemi



Indonesia Emas 2045 merupakan sebuah gagasan, mimpi besar Indonesia setelah seratus tahun lamanya merdeka. Berbagai impian dan harapan digantungkan oleh Indonesia dengan satu tujuan utama, yaitu menjadi negara berdaulat, maju, adil dan makmur (Dino, 2019). Visi Indonesia Emas 2045 yang diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo dalam Pertemuan Pembangunan dan Perencanaan Nasional tahun 2019 di Jakarta ini juga dapat dimanifestasikan sebagai impian Indonesia untuk menjadi negara maju dengan kontribusi tinggi terhadap perekonomian global, terbesar keempat di dunia.

Memang tidak mudah untuk merealisasikan sebuah impian besar yang dibangun dengan optimisme tinggi. Apakah dengan 25 tahun waktu tersisa, Indonesia mampu menjadi Salah satu dari “World’s Largest Economy” di tengah ancaman ketidakpastian ekonomi global?  Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) mengungkapkan, ekonomi Indonesia perlu tumbuh 7% setiap tahun agar bisa menjadi bagian dari kelompok negara berpendapatan tinggi di dunia pada 2045 mendatang (Mutia, 2019).

Realita memang kadang tidak seindah sikap optimistik yang ada. Semenjak roda perekonomian Indonesia mulai dijalankan oleh Indonesia sendiri, gejolak pertumbuhan ekonomi terus mengintai perekonomian Indonesia. Tercatat bahwa pertumbuhan tinggi pernah diraih Indonesia pada saat era Presiden Soeharto, kisaran 6%-7%. Hal ini didasarkan fakta bahwa Indonesia sempat mengalami commodity boom pada tahun 1973 - 1974 dan 1979 - 1980. Namun setelah pertumbuhan tinggi ekonomi yang disumbang oleh tingginya harga minyak, Indonesia tetap mampu menjaga pertumbuhannya melalui industrialisasi yang masif dilakukan di bawah kepemimpinan Soeharto dan para teknokrat ekonominya yang disebut sebagai “Mafia Berkeley” (Wihardja, 2016). Sekilas hal ini merupakan sebuah fenomena yang begitu menakjubkan, namun di balik keindahan pencapaian angka-angka tinggi tersebut, terdapat sebuah fakta yang cukup mengejutkan. Selama pemerintahan Soeharto sebagian besar kegiatan perekonomian berada dalam pusaran kekuasaan pemerintah dan konglomerat-konglomerat predatoris yang dibesarkan di bawah ketiak rezim Soeharto (Rahmat dan Yustika, 2017). Hal ini menciptakan struktur perekonomian yang keropos.  Dengan 70% perekonomian dikuasai pemerintah, begitu dunia mengalami gejolak pada 1998, struktur ekonomi Indonesia yang keropos  tak bisa menopang perekonomian nasional. Bukti empiris terhadap pernyataan sebelumnya adalah resesi ekonomi yang dihadapi Indonesia pada tahun 1998 dengan pertumbuhan -13,13% (Kompas, 2020).

Setelah reformasi berlangsung, Indonesia tetap tidak bisa mengembalikan pertumbuhan ekonominya seperti pada masa Presiden Soeharto. Tumbuhnya perekonomian Indonesia pada masa setelah reformasi justru merupakan buah ketergantungan dari commodity boom antara tahun 2001 - 2012 yang menjadi langkah mundur dalam upaya mengakselerasi pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Ketergantungan ini berakibat fatal terhadap perekonomian setelahnya dengan fundamental makroekonomi yang semakin memburuk. Ledakan pendapatan dalam masa-masa tersebut dihabiskan untuk mensubsidi energi yang tidak tepat sasaran alih-alih berinvestasi pada sektor produktif. Inilah yang menyebabkan Indonesia mengalami “resource curse” (Wihardja, 2016). Hal ini dapat tercermin setelah tahun 2012 Indonesia terjebak dalam pertumbuhan ekonomi di kisaran 5% (Kompas, 2020).

Hal di atas diperparah oleh fakta bahwa sampai tahun 2019 saja, Indonesia hanya mampu mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi 5,02% yang bahkan lebih rendah 0,15% yoy (BPS, 2019). Menjadi sebuah pertanyaan besar apakah Indonesia mampu mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 atau justru terjebak dalam kelompok negara berpendapatan menengah? Apalagi, saat ini Indonesia dan dunia sedang dihantui oleh merebaknya COVID-19 yang menyebabkan krisis kesehatan dan berujung pada gelombang ketidakpastian ekonomi. Pandemi ini dapat membawa perubahan besar the new normal ke dalam berbagai sektor kehidupan sosial-ekonomi, baik di saat pandemi berlangsung maupun setelah hari-hari kelam itu terlewati. Apakah the new normal dapat membawa Indonesia mencapai cita-citanya? Atau justru memperparah keadaan yang ada?

Jebakan Kelas Menengah (Middle Income Trap) Indonesia dalam Perspektif Umum

Secara teori, seharusnya negara-negara berpendapatan rendah dapat bertumbuh lebih cepat daripada negara maju akibat tingginya return to capital mereka serta luasnya kesempatan bagi mereka untuk mengaplikasikan kemajuan teknologi yang sudah ada dan terbukti kinerjanya (Kharas & Kohli, 2011). Namun, meski berbagai negara berkembang tercatat memiliki pertumbuhan yang begitu tinggi, negara-negara ini seringkali “terjebak” dalam kisaran pendapatan per kapita menengah. Mereka tak mampu meningkatkan pendapatan per kapita mereka ke level tinggi. 

Middle Income Trap (Jebakan Kelas Menengah) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tantangan yang dihadapi negara-negara ini. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam bersaing dengan negara-negara berupah rendah dalam ekspor, serta negara-negara maju dalam inovasi (Gill & Kharas, 2015). Indonesia sendiri telah menarik perhatian ekonom dunia akan resikonya terjerat dalam Jebakan Kelas Menengah ini.

Ancaman ini paling jelas terlihat ketika perkembangan perekonomian Indonesia dibandingkan dengan perekonomian lain yang situasinya lebih buruk pada era 1960, namun telah mengalahkan performa ekonomi Indonesia dalam menghindari Jebakan Kelas Menengah (Basri & Putra, 2016). Korea Selatan, misalnya, memiliki capital stock ratio yang jauh lebih kecil daripada Indonesia pada tahun 1960. Namun pada tahun 2000, capital stock ratio Indonesia hanya 0,59 dari rasio Korea Selatan (Basri & Putra, 2016). Hal ini menunjukkan kegagalan Indonesia dalam membangun modal dibanding negara lain. Situasi ini pun diperparah oleh kondisi sumber daya manusia Indonesia yang tak pernah lebih baik daripada Korea Selatan (PWT 8.1, 2017). 

Padahal, untuk memiliki pertumbuhan yang lebih baik dan sehat dalam jangka panjang, sebuah negara harus memastikan terjadinya peningkatan dalam produktivitas yang berkelanjutan (Neumann, 2014). Dalam hal ini, tingkat produktivitas sebaiknya bukan dilihat dari produktivitas tenaga kerja saja, namun juga dari produktivitas perusahaan (misalnya, investasi terhadap modal seperti mesin). Oleh karena itu, dalam menganalisis pertumbuhan ekonomi, cara yang paling tepat adalah menggunakan Total Factor Productivity yang memperhitungkan efisiensi baik tenaga kerja maupun modal (Wilson, 2014).

Dari data di atas, dapat dilihat bahwa kedua hal ini (tenaga kerja dan modal) tidak berkembang dengan baik di Indonesia. Maka, Total Factor Productivity Indonesia yang tadinya lebih baik daripada Korea Selatan pada tahun 1960 justru menjadi lebih buruk daripadanya pada tahun 2011 (Basri & Putra, 2016).

Selain itu, teknologi juga merupakan faktor yang tak kalah besar dalam pertumbuhan ekonomi. Teknologilah yang memampukan negara-negara maju untuk terus bertumbuh dengan baik meski dihadapkan dengan diminishing returns of capital. Bahkan, data menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat inovasi suatu negara, maka semakin tinggi pula pendapatan per kapitanya (WIPO, 2018). Sayangnya, negara-negara berkembang seperti Indonesia belum mampu bersaing dalam inovasi teknologi. Faktanya, Indonesia menempati urutan ke-85 dalam Indeks Inovasi Global dengan skor 29,72 dari 100 (Global Innovation Index 2019). Inilah yang membuat berbagai negara berkembang sulit untuk catch up (mengejar) dengan negara-negara maju.

Faktor lain yang menahan pertumbuhan perekonomian Indonesia adalah deindustrialisasi prematur. Memang, lambat laun setiap perekonomian akan mengalami deindustrialisasi seiring meningkatnya ketergantungan mereka akan sektor jasa. Namun, kini berbagai negara berkembang justru mengalami deindustrialisasi cenderung lebih cepat daripada negara-negara yang sudah maju terlebih dahulu, sehingga mereka mengalaminya sebelum mereka betul-betul merasakan keuntungan maksimal dari produktivitas sektor manufaktur (Rodrik, 2015). Padahal, sejarah menunjukkan bahwa salah satu pendorong pertumbuhan terbesar suatu negara biasanya adalah transformasi struktural perekonomiannya, yaitu transisi pekerja dari sektor agrikultur ke manufaktur (Muhamad, Nirmala, Siregar, Tjahjono, & Domash, 2020).

Indonesia bukan lagi bersosok negara agraris, namun tak pernah pula beralih berstatus sebagai negara industri. Peranan sektor industri manufaktur mentok di aras tertinggi 29 persen, setelah itu susut hampir selalu setiap tahun hingga hanya di bawah 20 persen pada 2018. Negara-negara maju pada umumnya mengalami penurunan peran manufaktur dalam perekonomian ketika pangsa sektor manufaktur dalam PDB sudah mencapai sekitar 35 persen. Indonesia boleh jadi mengalami gejala dini deindustrialisasi (premature deindustrialization). (Basri, 2019)

Terakhir, faktor yang cukup signifikan pengaruhnya terhadap perkembangan perekonomian Indonesia adalah performa pemerintahan Indonesia. Sesuai dengan salah satu prinsip ekonomi N. Gregory Mankiw, pemerintah dapat memperbaiki keadaan pasar (2020). Maka, kinerja pemerintah yang baik seharusnya dapat menimbulkan dampak yang baik pula terhadap pertumbuhan ekonomi. Studi menemukan bahwa peningkatan satu unit dalam pengendalian korupsi menyebabkan peningkatan 6,9% dalam pertumbuhan ekonomi (Samarasinghe, 2018). Meski efektivitas pemerintah Indonesia tercatat melebihi rata-rata pada tahun 2018 (the Global Economy), pengendalian korupsi Indonesia masih cukup memprihatinkan. Pada tahun yang sama, pengendalian korupsi Indonesia mendapat skor -0,25, di mana rata-rata dunia adalah -0,04 (the Global Economy). Hal ini pun berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah Indonesia. Faktanya, Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) Indonesia hanya bernilai 40, di mana 0 berarti “sangat korup” dan 100 berarti “bersih” (Transparency International, 2019). Ini berarti, berbagai pakar dan wirausahawan menilai bahwa pemerintahan Indonesia cenderung korup. Persepsi yang buruk pun mempengaruhi keputusan para investor. Semakin buruk persepsi performa pemerintahan suatu negara, maka negara tersebut menjadi semakin tidak menarik sebagai sarana investasi.

Pandemi dan Rantai Jebakan Kelas Menengah

Pandemi yang terjadi memiliki hubungan yang erat kaitannya dengan kondisi Middle Income Trap yang tengah dialami oleh Indonesia. Wabah penyakit COVID-19 ini menghantam perekonomian Indonesia dengan begitu hebat, bahkan dapat dikatakan lebih parah ketimbang global financial crisis 2008. Hantaman yang menimpa sektor perekonomian ini berdampak pada gugurnya berbagai sektor penyokong, karena terjadi demand dan juga supply shock yang sulit untuk dihindari.

Goyahnya perekonomian dapat tervisualisasi dari pertumbuhan ekonomi yang turun secara drastis, jauh melampaui perkiraan Kementerian Keuangan. Pada kuartal satu tahun 2020 ini pertumbuhan ekonomi hanya bertengger di kisaran 2,97 persen, terendah sejak tahun 2001 (Thomas, 2020). Dampak pada pertumbuhan ekonomi seharusnya tidak sebesar itu. Pasalnya, pengurangan aktivitas ekonomi baru terjadi pertengahan Maret 2020. PSBB sendiri saja baru dimulai paling cepat 10 April 2020 di DKI Jakarta (Thomas, 2020). Kamar Dagang Indonesia atau Kadin menyatakan bahwa tahun 2020 Indonesia masuk dalam kategori perekonomian yang sangat berat, dengan prediksi IMF pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2020 sebesar 0,5% (Abrar, 2020).

Dengan kondisi perekonomian normal saja, Indonesia dirasa sulit untuk lepas dari jebakan kelas menengah dengan berbagai masalah yang telah dibahas sebelumnya. Jelas adanya pandemi ini akan memperkuat rantai yang membelenggu Indonesia dalam kelompok negara berpendapatan menengah. Untuk itu, disini penulis mengajak pembaca untuk menyelami lebih jauh mengenai faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat Indonesia untuk lepas dari jebakan kelas menengah, khususnya faktor penentu jangka panjang yang terjadi karena merebaknya virus keluarga corona ini.

Seperti yang telah disajikan oleh penulis, sebelum pandemi ini berlangsung, Indonesia telah menghadapi berbagai permasalahan untuk mengakselerasi pertumbuhannya dalam jangka panjang. Salah satunya adalah rendahnya tingkat pertumbuhan TFP. Pada masa pandemi seperti saat ini, jelas tingkat TFP akan lebih rendah bakan terkoreksi karena kedua faktor penunjangnya, yaitu tenaga kerja dan modal jelas akan mengalami reduksi.

Dengan berlakunya Pembatasan Sosial Berskala Besar sesuai dengan amanat UU Nomor 2 Tahun 2020, terdapat banyak kegiatan penunjang roda perekonomian yang mandek, bahkan tak berfungsi. Banyak di antara industri-industri strategis yang tak dapat beroperasi akibat mewabahnya virus corona ini. Jika mereka diperbolehkan beroperasi sekalipun, operasinya pasti berlangsung dengan berbagai macam perizinan serta protokol kesehatan yang mengakibatkan timbulnya biaya berlebih. Corona memberikan dampak yang signifikan terhadap berbagai lini siklus produksi, mulai dari distribusi bahan baku, produksi, distribusi barang jadi, hingga sarana promosi (Iswanto, 2020).

Penurunan Produktivitas Pekerja

Pemberlakuan physical distancing mewajibkan perusahaan yang masih beroperasi untuk menyesuaikan jumlah pekerja yang berada di dalam pabrik. Hal ini biasa dilakukan dengan dua skema: menerapkan pergantian jam kerja / shift ke setiap pekerja atau melakukan pekerjaan yang dapat dikerjakan di rumah masing-masing (work from home). Jelas dengan menerapkan pergantian jam kerja, perusahaan tidak dapat memaksimalkan kapasitas produksi yang dimiliki. Untuk kebijakan work from home, perlu dikaji lebih dalam dengan data empiris apakah hal ini mereduksi tingkat produktivitas pekerja atau justru malah menjadi pemantik semangat bekerja yang lebih tinggi. Selain itu, wabah ini juga dapat menurunkan ketersediaan pekerja yang sehat, menebarkan rasa khawatir akan terjangkit virus, dan meningkatkan keperluan merawat anggota keluarga yang terpapar virus, sehingga jelas hal ini akan berakibat besar terhadap penurunan produktivitas pekerja (Panturu dan Audrine, 2020) .

Insentif Deglobalisasi Akibat Pandemi

Salah satu faktor terbesar yang timbul akibat pandemi ini ialah deglobalisasi, atau dalam konteks ekonomi, penurunan perdagangan internasional. Demi keamanan setiap negara, batas-batas antar negara kini dipertebal. Untuk jangka waktu yang tak pasti, pergerakan manusia (wisatawan, pelajar, pekerja) antar negara dipersulit. Terlebih lagi, setiap negara menjadi lebih berhati-hati dalam perdagangan internasional. Dalam saat tidak menentu seperti ini, tak sedikit negara yang mengevaluasi kembali tingkat ketergantungan mereka terhadap negara lain. WTO sendiri memprediksi penurunan 13-32% dalam perdagangan internasional pada tahun 2020 (2020).

Sebenarnya, sebelum 2020 sekalipun tingkat ekspor dunia (sebagai persentase dari PDB dunia) sudah mulai menurun akibat tensi perdagangan antar negara (2020). Faktanya, ekspor Indonesia mengalami penurunan pada 5 tahun terakhir dan impornya pun menurun sebesar US$ 41M (Pines, 2020). Maka, dengan adanya pandemi ini, aktivitas ekspor-impor Indonesia semakin terancam.

Pada tahun 2018, ekspor Indonesia mencapai 20,97% PDB (WITS), sehingga bisa dibilang bahwa ekspor berperan cukup besar dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun yang sama, sekitar 15% dari total ekspor (BPS, 2018) Indonesia tertuju ke Cina (Kemendag, 2020). Ini berarti, Indonesia memiliki ketergantungan besar terhadap Cina, yang  kemudian menjadi episentrum dari COVID-19 sendiri. Dengan kata lain, devisa ekspor Indonesia sangat bergantung pada daya beli Cina. Jika daya beli ini menurun, tentu devisa ekspor Indonesia dan kemudian PDBnya pun menurun, ceteris paribus. Data menunjukan bahwa 1% penurunan pertumbuhan PDB Cina akan menyebabkan 0,09% penurunan pertumbuhan PDB Indonesia (Yuniartha, 2018). Dengan melemahnya pertumbuhan PDB Cina ke “titik terendah selama 44 tahun” (2020), maka pertumbuhan PDB Indonesia pun terancam berat. 

Selain ketergantungan ekspor, Indonesia pun banyak mengimpor dari negara asing. Faktanya, impor Indonesia mencapai 22,06% dari PDB Indonesia sendiri (WITS, 2018). Salah satu industri yang paling bergantung dengan negara asing adalah industri farmasi. Hampir 90% dari bahan baku yang digunakan dalam industri ini diimpor dari Cina (Rakhmat, 2020). Maka, kesulitan pasokan bahan baku dari Cina yang diakibatkan program karantina atau kekurangan staf akan sangat berpengaruh terhadap industri farmasi Indonesia. Padahal, industri ini sangat krusial bagi kesehatan dan keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia. Jika mekanisme pasar lokal Cina membuat harga-harga bahan baku ini naik akibat kelangkaan, maka harga obat-obatan di Indonesia pun terancam meningkat pula.

Fluktuasi Harga Komoditas

Selain ketergantungan akan negara lain, Indonesia pun masih bergantung dengan hal lain yang tak kalah memprihatinkan: sektor ekstraktif dan agraris. Pasalnya, lima komoditas ekspor terbesar Indonesia adalah minyak kelapa sawit, briket batubara, gas petroleum dan bijih tembaga (Cekindo, 2019). Hal ini sangat disayangkan sebab Indonesia kehilangan keuntungan dari potensi pertambahan nilai barang-barang tersebut seandainya barang-barang ini diproses lebih lanjut sebelum diekspor. Selain itu, Indonesia pun kehilangan peluang pekerjaan bagi masyarakatnya.

Ketergantungan akan sektor-sektor hulu juga riskan akibat harga komoditas yang fluktuatif di pasar global. Terlebih lagi di masa pandemi, harga-harga komoditas jatuh secara signifikan (World Bank, 2020).

Pertama, harga minyak mentah Indonesia atau ICP pada Maret 2020 lalu tercatat US$ 34,23 per barel. Akan tetapi, pada April 2020 turun 39,6% mom menjadi US$ 20,66 per barel. Bahkan, bila harga ICP ini dibandingkan dengan posisi bulan Maret 2019, harganya ambles hingga 69,8% yoy. Kedua, harga minyak sawit pada bulan lalu tercatat turun 41,% mom. Ketiga, harga batubara juga terkoreksi 12,14% mom. Bahkan, bila dibandingkan posisi April 2019, penurunannya juga tercatat lebih tajam, yaitu 32,5% yoy. Selanjutnya, ada juga komoditas karet yang turun 11,3% mom. (Suhariyanto, 2020)

Maka, devisa ekspor (dan kemudian PDB) Indonesia pun sangat terancam dengan adanya ketidakpastian global.

Lemahnya Daya Beli Masyarakat

Lemahnya permintaan pasar saat ini juga menjadi faktor yang sangat membebani industri, khususnya yang bergerak dalam sektor non-esensial, seperti otomotif. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil bulan April 2020 hanya sebesar 7.181 unit atau terkoreksi hingga lebih dari 90 persen yoy. Gaikindo menyebut performa penjualan mobil bulan April sebagai torehan penurunan performa penjualan terparah sepanjang sejarah penjualan mobil di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tuntutan untuk berada di rumah saja, sehingga tidak terlalu membutuhkan mobil atau menunda pembelian mobil yang telah direncanakan. 

Berdasarkan liquidity of preferences theory yang dikemukakan oleh John Maynard Keynes, terdapat kecenderungan masyarakat untuk memegang uang karena motif berjaga-jaga. Saat krisis seperti ini, motif tersebut menjadi lebih kuat dan menjadi motivasi utama untuk memegang aset paling likuid, yaitu uang kas (“cash is the king”). Masyarakat tidak berani berekspektasi membeli produk di luar kebutuhan pokok. Hal ini berdampak terhadap melemahnya perputaran uang yang terjadi pada dunia usaha (Tauhid, 2020), sehingga berdasarkan analisis sederhana menggunakan teori kuantitas uang Irving Fisher, jika velocity uang berkurang, ceteris paribus, maka pertumbuhan PDB berpotensi tertekan.

Gangguan Arus Kas Perusahaan

Di satu sisi, pandemi ini membawa banyak biaya, baik eksplisit maupun implisit yang mesti dikeluarkan oleh perusahaan. Namun, hal ini tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan. Justru, pendapatan kini malah tertekan. Jika satu industri mengalami tekanan, maka akan merembet ke sektor-sektor industri terkait karena interconnectedness yang semakin kuat. Industri otomotif seperti Honda dan Yamaha mengalami penurunan pendapatan hingga 75%. Industri mobil Honda sudah menghentikan produksinya. Produksi Honda bisa drop sampai 75% dibanding sebelumnya, sedangkan Yamaha mungkin angkanya sedikit di bawah itu: drop sekitar 50%. Padahal, banyak sekali karyawan mereka; Honda saja satu grup bisa mencapai 200.000 orang dan Yamaha Motor sekitar 20.000 orang. Kalau ditambah dengan industri terkait seperti para supplier, dealer, bengkel-bengkel, bisa mencapai jutaan orang (Iswanto, 2020). 

Peristiwa yang lebih mengkhawatirkan dan berdampak sangat signifikan akibat terguncangnya dunia usaha adalah fenomena Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK besar-besaran yang saat ini mulai dilakukan oleh berbagai perusahaan akibat tertekannya kondisi keuangan internal. Menurut Kementerian Ketenagakerjaan per 20 April 2020, sebanyak 2,08 juta pekerja telah di-PHK dan dirumahkan serta diprediksi angkanya akan terus bertambah (CNN, 2020). PHK dijadikan salah satu solusi untuk merampingkan keran pengeluaran perusahaan karena memang gaji tenaga kerja merupakan komponen tertinggi dari biaya perusahaan (Kamdani, 2020).  Banyaknya PHK ini menjadi sinyal bahwa ketahanan industri sudah mulai melemah. Menurut Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sutrisno Iwantono, kemampuan cash flow industri hanya bisa bertahan sampai bulan Juli (Bisnis, 2020). 

PHK yang terjadi saat ini akan memperlemah daya beli masyarakat, dan berujung pada lemahnya permintaan terhadap industri. Hal ini kemudian menyebabkan penurunan pendapatan perusahaan yang memaksa mereka untuk mengefisiensikan pos pengeluaran, termasuk dari sisi tenaga kerja dengan jalan PHK (Fornano dan Wolf, 2020). Jelas hal ini merupakan sebuah vicious circle yang sulit dihindari.

Selain dari tingkat produktivitas yang semakin menurun, berbagai industri, tak terkecuali manufaktur, juga menghadapi masalah dalam hal permodalan. Dengan menurunnya tingkat pendapatan yang ada, maka sudah pasti kekuatan perusahaan untuk membayar beban utang yang mengalami jatuh tempo pada tahun ini semakin melemah, sehingga risiko gagal bayar atau default atas obligasi korporasi dan juga Medium Term Note (MTN)  menjadi semakin tinggi. Head of Research & Market Information Department Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI), Roby Rushandie, mengatakan, selain kian meningkatnya risiko default, korporasi yang menerbitkan MTN rata-rata peringkat ratingnya di bawah batas investment grade, sehingga sangat rentan terganggu dari sisi likuiditas (Sidik, 2020).

Contoh nyata dari default yang terjadi akibat tekanan COVID-19 ini adalah kegagalan pembayaran oleh PT Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas) atas Medium Term Note (MTN) I Perum Perumnas Tahun 2017 Seri A yang seharusnya jatuh tempo pada 28 April 2020 senilai Rp 200 miliar. Gagal bayar perusahaan pelat merah ini juga dapat menjadi perhatian besar bagi berbagai korporasi mengenai kemampuan likuiditas yang saat ini sangat terguncang. Lembaga pemeringkatan Moody’s Investor Service belakangan ini juga memangkas rating utang sejumlah emiten di Indonesia, sehingga berdampak besar pada menurunnya tingkat kepercayaan investor (Mahardhika, 2020). Rendahnya tingkat kepercayaan investor dapat menghambat capital inflow serta memperparah capital outflow Indonesia. Berdasarkan data yang dihimpun oleh BKPM, Penanaman modal asing (PMA) pada triwulan pertama 2020 turun 9,2%, menjadi Rp 98 triliun dibandingkan triwulan pertama 2019 sebesar Rp 107,9 triliun (Trio, 2020). Selain itu, Bank Indonesia juga merilis data yang menyatakan bahwa sejak 20 Januari 2020 hingga 30 Maret 2020, arus modal asing yang keluar (capital outflow) tercatat Rp167,9 triliun (Mahardhika, 2020).

Sulitnya Mengakumulasi Modal

Dalam masa pandemi ini, perusahaan juga mengalami kesulitan untuk menghimpun modal melalui penerbitan obligasi karena sulitnya menjual obligasi atau surat utang yang mampu menunjang operasional di kala krisis serta dengan beban bunga yang lebih tinggi. Berdasarkan struktur risiko suku bunga, ketika risiko gagal bayar yang terjadi karena krisis meningkat, maka obligasi perusahaan terlebih dengan rating utang yang buruk dapat terjual apabila dibarengi dengan risk premium yang cukup sesuai dengan risiko. Risk premium menunjukan berapa jumlah tambahan bunga yang harus diterima investor agar mau membeli obligasi dengan risiko, atau bisa dikatakan selisih antara suku bunga obligasi dengan risiko dan default-free bond (Mishkin, 2017). Obligasi perusahaan juga merupakan aset yang kurang likuid, apalagi di saat pandemi seperti ini sebab sedikit yang diperdagangkan dan mahal untuk menjualnya dalam situasi darurat. Karenanya, obligasi dengan likuiditas yang rendah juga memiliki tingkat bunga yang lebih tinggi (Mishkin, 2017). Seperti pepatah lama mengenai investasi, “semakin tinggi risiko, maka peluang mendapat keuntungan besar (bunga) juga akan semakin tinggi.” 

Menurunnya performa berbagai perusahaan juga dapat memberikan dampak sistemik terhadap sistem keuangan, khususnya perbankan karena terdapat risiko kredit macet atau tingkat Non-Performing Loan (NPL) yang tinggi. NPL gross perbankan berada di posisi 2,79% pada Februari, naik dari posisi Januari di level 2,77%, sedangkan NPL net di level 1,00% per Februari, menurun dari Januari 1,04% (Sahara, 2020). Hal yang juga harus diwaspadai emiten perbankan, khususnya yang termasuk BUKU I dan II adalah potensi penurunan profitabilitas karena kebijakan restrukturisasi ini. Pasalnya, pendapatan bank dari pos marjin bunga bersih (net interest income) akan mengalami penurunan (Sidik, 2020).

Risiko tingkat NPL yang tinggi serta menurunnya pendapatan bank akibat restrukturisasi kredit berpengaruh pada penyaluran kredit yang semakin berkurang, karena memang bank menjadi lebih selektif dalam penyeleksian nasabah terkait krisis serta berkurangnya kemampuan bank yang tercermin dari potensi penurunan pendapatan tersebut. Survei Perbankan Bank Indonesia mengindikasikan pertumbuhan kuartalan kredit baru pada kuartal I/2020 mengalami perlambatan, tercermin dari saldo bersih tertimbang yang hanya sebesar 23,7%. Realisasi tersebut lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yakni kuartal IV/2019, dengan perolehan saldo bersih tertimbang (SBT) kredit baru sebesar 70,6% (Wiratmini, 2020). 

Kesulitan mengembangkan modal perusahaan akibat berbagai hambatan (seperti turunnya pendapatan yang dapat dialokasikan untuk mengekspansi aset, beban bunga dan juga utang jatuh tempo, penerbitan obligasi yang membutuhkan lebih banyak biaya, serta sulitnya akses permodalan melalui perbankan ataupun lembaga multifinance) dapat menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Menurut Solow Growth Model Theory, pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh kemampuan dalam mengakumulasi kapital, ceteris paribus (Mankiw, 2009). Belajar dari negara industri baru seperti Korea Selatan, terlihat bahwa kemajuan yang dirasakan oleh Negara Ginseng tersebut sangat ditunjang dari kemampuan dalam mengakumulasi kapital, sehingga memperkuat industrialisasi yang ada. 

Hantaman yang dirasakan oleh berbagai industri, khususnya manufaktur di Indonesia berimbas kepada penurunan dalam Purchasing Managers Index - Manufacture atau PMI Manufaktur. PMI Manufaktur merupakan indeks yang mencerminkan keyakinan berbisnis saat ini dan di masa mendatang yang dapat dijadikan dasar bagi para pemangku kebijakan di dalam perusahaan untuk mengambil keputusan. Berdasarkan data yang dihimpun oleh IMS Markit bahwa tingkat PMI Manufaktur Indonesia pada bulan April 2020 merupakan yang terkecil sepanjang sejarah survei PMI yang pertama kali dilakukan April 2012, yaitu 27,5 dan juga yang terendah jika dibandingkan dengan negara di wilayah ASEAN lainnya (Tradingeconomics, 2020). Padahal, tingkat PMI di bawah 50 mencerminkan industri yang sedang mengalami kontraksi dan dapat menjadi sinyal pesimistis pelaku usaha terhadap iklim dunia usaha kedepannya. Karenanya, pandemi ini dapat mempercepat laju deindustrialisasi yang memang sudah sangat prematur di Indonesia.

Mengapa penulis lebih berfokus kepada masalah sektor manufaktur? Karena sektor ini memiliki multiplier effect atau efek pengganda yang sangat besar terhadap perekonomian. Deindustrialisasi prematur yang diperparah oleh pandemi ini menjadi sinyal buruk bagi perekonomian Indonesia. Hasil analisis yang dilakukan oleh United Nations Industrial Development Organization (Unido) menunjukan bahwa efek pengganda yang diberikan oleh sektor manufaktur secara agregat sangatlah besar bagi perekonomian negara, khususnya negara berkembang (Unido, 2018). Contoh nyata dapat kita ambil melalui tabel input-output tahunan Biro Analisis Ekonomi (BEA) Amerika yang telah menghitung bahwa nilai permintaan akhir $1 dari sektor manufaktur mampu  menghasilkan $1,48 dalam layanan dan produksi lainnya. Hal ini dapat terjadi lantaran sektor manufaktur, seperti telah disinggung sebelumnya, memiliki begitu banyak hubungan substansial dengan begitu banyak sektor lain di seluruh perekonomian; outputnya merangsang lebih banyak aktivitas ekonomi di seluruh masyarakat daripada sektor lainnya, vice versa. Sebuah studi juga menunjukkan efek pengganda dari manufaktur mungkin jauh lebih tinggi daripada yang dihitung sebelumnya (Gold, 2014).

Penanganan COVID-19 oleh Pemerintah Indonesia

Semrawutnya penanganan COVID-19 di Indonesia bisa mengindikasikan bahwa pemerintah Indonesia belum mampu secara efektif untuk menangani pandemi ini. Berbagai media asing seperti Melbourne Asia Review menyoroti penanganan pandemi di Indonesia yang diklaim sebagai terburuk se-Asia Tenggara (A’yun dan Mudhaffir, 2020). Hal ini ditengarai lantaran  persentase tingkat kematian yang relatif tinggi, mencapai 6,5% dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya yang memiliki fatality rate di kisaran 0-3%. Permasalahan penanganan pandemi ini juga terlihat dalam statement pemerintah yang acap kali menimbulkan multitafsir, sehingga membingungkan masyarakat awam. Ketidaksinkronan data bantuan sosial juga diakui menjadi masalah oleh istana, karena data yang dipakai adalah data tahun 2015 (Tambun, 2020). Selain itu, miskinnya koordinasi antar lini pemerintahan serta tidak adanya sinergitas kebijakan berujung pada fragmentasi penanganan krisis di tingkat pusat maupun daerah. Akibatnya, nuansa politisasi atas krisis COVID-19 muncul di tengah masyarakat (Fisipol UGM, 2020). 

Dalam hal pengetesan virus corona, Indonesia termasuk yang paling sedikit di dunia. Mengutip dari laman worldmeters per 11 April 2020 dari satu juta masyarakat, hanya sebesar 65 orang yang telah dites PCR COVID-19. Hal ini membuat Indonesia menurut The Strait Times sebagai negara terburuk ke-4 dalam tingkat pengujian di antara negara-negara dengan populasi 50 juta atau lebih. Indonesia, negara dengan populasi terbesar ke-4 di dunia (dengan jumlah populasi 270 juta), hanya lebih baik daripada Ethiopia, Nigeria, dan Bangladesh dalam pengujian COVID-19 (Apinino, 2020). Negara-negara di Asia Tenggara mencatatkan jumlah pengetesan yang jauh lebih banyak. Malaysia, misalnya, melakukan 2.153 tes per 1 juta penduduk, Thailand 1.030, bahkan Singapura mencapai 12.423 tes (Apimino, 2020). Tak pelak hal ini membuat para scientist sempat cemas bahwa data tersedia tidak dapat menggambarkan secara utuh tingkat persebaran dan kekhawatiran bahwa kasus yang ada di lapangan jauh lebih besar (Ben, 2020). 

Berbagai konflik kepentingan juga terlihat dalam kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Setidaknya dua stafsus presiden yang saat ini telah mengundurkan diri dicurigai memiliki konflik kepentingan antara peran publik mereka dengan kepentingan pribadi mereka. Salah satu program pemerintah yang menyediakan pelatihan online bagi pekerja yang menganggur telah menunjuk Ruangguru startup rintisan milik Adamas Belva Syah Devara sebagai mitranya. Penunjukan Ruangguru dilakukan tanpa proses penawaran, seperti yang diakui oleh Wakil Menteri untuk Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rudi Salahuddin, yang juga mengatakan tujuh perusahaan lain ditunjuk tanpa penawaran karena keterbatasan waktu. Kebijakan pelatihan online yang memakan biaya mencapai 5,6 triliun dirasa merupakan hal yang mubazir. Untuk bisa mengikuti pelatihan secara online, peserta harus melunasi biaya pelatihan atau kursus yang dipilih. Padahal di sisi lain, banyak pelatihan serupa namun gratis yang tersedia melalui internet (Anggawira, 2020). Andi Taufan Garuda sebagai stafsus presiden lainnya juga diindikasi memiliki konflik kepentingan terkait pengiriman surat kepada camat untuk mendukung program penanganan COVID-19 yang disediakan oleh perusahaannya, Amartha Mikro Fintek menggunakan kop resmi pemerintah.

Pemerintah bersama dengan DPR juga disinyalir memanfaatkan momentum pandemi ini untuk kejar tayang dalam pembahasan berbagai RUU kontroversial, seperti cipta kerja, RKUHP, bahkan per tanggal 12 Mei 2020 telah menetapkan RUU Mineral dan Tambang sebagai undang-undang. Hal ini seakan memperlihatkan keberpihakan pemerintah terhadap taipan batubara yang menguras kekayaan negara dibandingkan dengan kepentingan serta hak rakyat yang saat ini tergerus akibat pandemi.

Tagar Indonesia Terserah yang saat ini sedang hangat digaungkan merupakan sebuah simbol kekecewaan masyarakat, terkhusus tenaga medis dan masyarakat yang taat menjalani PSBB, bahwa tidak adanya komitmen yang kuat dari pemerintah sebagai pelaksana kebijakan PSBB untuk menegakkan berbagai peraturan yang telah ditetapkan. Lebih parah lagi, pada rapat terbatas (ratas) tanggal 18 Mei lalu, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan, pemerintah sedang mengkaji pengurangan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sebagai langkah percepatan penanggulangan COVID-19. Ketika PSBB dilaksanakan saja, banyak masyarakat yang masih tidak mengindahkan anjuran untuk tetap di rumah saja dan penambahan kasus setiap harinya masih begitu tinggi. Maka, tak dapat dibayangkan seberapa besar dampaknya bagi kesehatan masyarakat apabila pelonggaran PSBB ini dilakukan. Menurut pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini, kebijakan ini sama saja menjerumuskan rakyat Indonesia ke jurang kematian. Pasalnya, ia menganggap pelonggaran PSBB secara serampangan sama saja dengan menuju herd immunity (kekebalan kawanan) dengan cara berbahaya (Lidyana, 2020).

Tak dapat dipungkiri berbagai kontroversi mengenai penanganan COVID-19 ini membuat citra pemerintah seakan menjadi bagian dari masalah, bukan solusi. Semrawutnya permasalahan ini membawa dampak besar terhadap menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat seperti yang dituturkan oleh Direktur Eksekutif Indo Barometer, M. Qodary (Bayu, 2020). Masalah kebijakan dalam menghadapi pandemi ini juga dapat menekan Government Effectiveness Index (GEI) Indonesia. Padahal tingkat GEI yang tinggi dapat mencerminkan peluang sebuah negara untuk lepas dari jebakan kelas menengah dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (Wibowo, 2013).

Bertahan di Tengah Pandemi

Banyak aspek yang mesti diperhatikan dalam menangani pandemi yang memiliki kompleksitas masalah yang tinggi. Dalam kaitannya dengan jebakan kelas menengah, penulis akan menjelaskan lebih terperinci mengenai kebijakan-kebijakan yang dapat ditempuh pemerintah dalam mempertahankan dan meningkatkan ketahanan industri di tengah pandemi.

Hal yang paling utama dan menjadi kebijakan yang direkomendasikan oleh ASEAN (2020) adalah memberikan restrukturisasi hutang, baik dalam bentuk obligasi maupun pinjaman bank. Hal ini bermanfaat untuk mengurangi beban perusahaan yang muncul akibat pandemi. Selain itu, restrukturisasi hutang diharapkan dapat menjaga kesehatan perbankan dan menghindari adanya kredit macet yang tak terkendali. Likuidasi terhadap barang modal memiliki biaya penyesuaian yang tinggi (Mankiw, 2009), sehingga dengan adanya restrukturisasi hutang maka akan mengurangi kemungkinan perusahaan untuk melikuidasi modal fisik untuk memenuhi kewajiban pembayaran hutang.

Stimulus fiskal berupa pengurangan tarif pajak juga dapat menjadi instrumen kebijakan yang dapat meringankan beban perusahaan. Perangkat moneter berupa penurunan basis poin suku bunga acuan dan giro wajib minimum setidaknya dapat menjadi pemantik agar penyaluran kredit tidak terlalu tertekan. Berbagai stimulus yang digelontorkan pemerintah kepada industri diharapkan dapat menjadi insentif bagi perusahaan-perusahaan yang ada agar tidak menerapkan kebijakan PHK dan dapat mempertahankan pekerjanya yang ada.

Meningkatnya kebutuhan akan interaksi jarak jauh untuk mengatasi pembatasan gerakan di tengah pandemi coronavirus menciptakan kebutuhan untuk memanfaatkan teknologi dan perdagangan digital. Pergeseran menuju platform digital dapat membantu mengurangi kerugian produktivitas dalam ekonomi, saat ini dan masa depan, karena pembelajaran, pekerjaan, dan transaksi ekonomi difasilitasi dari jarak jauh. Dengan semua manfaat yang diberikan oleh platform digital, terdapat beberapa hal yang mesti menjadi perhatian, kebutuhan untuk mengatasi kesenjangan digital dan fasilitas penunjangnya antar wilayah, masyarakat, dan industri serta urgensi meningkatkan kesadaran dan kemampuan dalam cybersecurity (ASEAN, 2020).

Kemudian, untuk mengurangi resiko dalam aktivitas ekspor-impor Indonesia, pemerintah dapat melakukan dua hal yaitu diversifikasi mitra dagang dan hilirisasi industri. Pada tahun 2018, lebih dari 35% ekspor Indonesia hanya ditujukan kepada tiga negara (Workman, 2019), dua di antaranya yaitu Cina dan AS yang belakangan ini sedang mengalami perang dagang yang cukup destruktif terhadap perekonomian. Lalu, sumber impor terbesar Indonesia pun adalah Cina (Espartosa). Karena itu, alangkah baiknya jika Indonesia dapat membangun relasi dengan negara-negara lain dalam rangka mengurangi resiko ketergantungan terhadap beberapa negara saja dan memperluas peluang perekonomian Indonesia. Selain itu, penyederhanaan regulasi serta prosedur dalam kegiatan ekspor dan impor juga merupakan kebijakan yang mesti dilakukan untuk mempersingkat waktu transaksi yang berdampak pada perbaikan supply chain dalam negeri (Kontan, 2020). Kemudian, hilirisasi industri juga sangat direkomendasikan dalam rangka mengurangi ancaman fluktuasi harga komoditas terhadap perekonomian Indonesia. "Makanya, kita harus fokus pada hilirisasi industri, yang tentunya akan membawa lompatan kemajuan bagi ekonomi kita. Selama ini, hilirisasi industri telah memberikan multiplier effect yang luas, baik itu penerimaan negara melalui ekspornya maupun penyerapan tenaga kerja yang bertambah," ungkap Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita (Hilkam, 2020).

Saluran distribusi barang-barang dalam siklus produksi maupun penyalurannya terhadap konsumen mesti dijamin pula keberlangsungannya oleh pemerintah dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan yang ada terutama dengan barang yang vital keberadaannya bagi masyarakat di saat pandemi (ASEAN, 2020). Skema jaring pengaman sosial atau asuransi sosial juga diperlukan untuk kelompok yang paling rentan atau untuk semua masyarakat. Pilihan kebijakan yang bisa dilakukan adalah menggunakan program yang telah dimiliki sebelumnya seperti Bantuan Program Pangan Non-Tunai, atau memberikan transfer uang tanpa syarat. Bauran kebijakan distribusi bantuan perlu dipertimbangkan untuk mempercepat proses dan kualitas disbursement, termasuk pelibatan e-wallet, pengiriman berbasis komunitas, dan penggabungan NIK antar-database. Selanjutnya Tim Ahli UI juga merekomendasikan bahwa kelompok kelas menengah yang vulnerable (rentan) perlu mendapat perhatian khusus setelah kelompok paling rentan karena akan mulai terdampak jika pandemi terjadi semakin berkepanjangan (DITSP UI, 2020). Asuransi sosial ini dapat menjaga daya beli masyarakat yang menjadi basis utama PDB Indonesia, sekaligus menjaga permintaan dalam sektor industri juga, termasuk manufaktur.

Pemerintah juga mesti menyiapkan skema mengenai bantuan likuiditas terhadap perbankan yang mengalami kesulitan, sehingga dampak sistemik sistem keuangan dapat di minimalisir. Kesehatan masyarakat juga merupakan salah satu aspek terpenting untuk menjaga industri, dapat dilakukan dengan menyediakan berbagai macam fasilitas kesehatan yang mumpuni, karena kesehatan merupakan salah satu dari tiga faktor yang menentukan tingkat produktivitas pekerja dan tingkat TFP  (Ananta dan Hatmajdi, 1985). Dengan menggunakan model Input-Output (IO), Tim Riset Ekonomi PT Sarana Multi Infrastruktur memperkirakan bahwa stimulus fiskal oleh pemerintah sebesar Rp 405,1 triliun akan tercipta output dalam perekonomian sebesar Rp 649,3 triliun (Sakti, 2020).

Skema Pembiayaan Program Penanganan Pandemi dan Stimulus Ekonomi

Mungkin terdapat banyak pertanyaan mengenai sumber pembiayaan untuk menggelontorkan berbagai macam stimulus yang jumlahnya tidak sedikit. Realokasi anggaran merupakan kebijakan yang dapat dilaksanakan dengan cost yang terbilang paling kecil dibandingkan dengan kebijakan lain. Realokasi dilakukan baik di tingkat pusat maupun daerah dari berbagai berbagai program yang tidak mendesak untuk membiayai stimulus penanganan pandemi ini, baik dalam sektor kesehatan maupun sosial-ekonomi. Relokasi anggaran yang sebelumnya dipersiapkan untuk pembangunan ibu kota negara yang akan memakan biaya yang sangat besar juga mesti diterapkan mengingat pembangunan tersebut merupakan program yang belum mendesak. Pemerintah juga dapat mengeluarkan obligasi atau Surat Utang Negara (SUN) bertenor panjang. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir gagal bayar dengan ketidakpastian ekonomi yang tak dapat diprediksi dalam waktu dekat. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengumumkan bahwa pemerintah Indonesia menerbitkan Global Bond sebesar 4,3 miliar US Dollar dalam 3 bentuk surat berharga global yaitu Surat Berharga Negara (SBN) seri RI1030 bertenor 10,5 tahun, RI 1050 bertenor 30,5 tahun, dan RI0470 bertenor 50 tahun (Kemenkeu, 2020). Pemerintah juga diharapkan dapat memberikan tekanan yang cukup kepada para lembaga donor internasional untuk membuka berbagai keran pembiayaan, baik yang bersifat normal maupun mendesak. Salah satu hal penting terkait debt sustainability ini adalah pemerintah dapat melakukan negosiasi untuk mendapatkan fleksibilitas, baik dari sisi pencairan pendanaan maupun skema pengembalian (DITSP UI, 2020).

Habis Pandemi Terbit Peluang (Tak Lupa Tantangan)

Penelitian yang dilakukan oleh Harvard University memprediksikan gelombang baru penyebaran virus corona saat musim dingin, setelah gelombang besar pertama. Bila imunitas yang terbentuk seiring waktu bersifat permanen, virus akan hilang dalam lima tahun atau lebih setelah puncak pandemi. Jika imunitas tidak permanen, maka virus ini akan mengalami sirkulasi reguler seperti influenza. Alhasil, jaga jarak sosial perlu terus diterapkan secara berulang (intermittent distancing), kemungkinan diperlukan hingga tahun 2022, kecuali fasilitas perawatan kritis meningkat signifikan atau vaksin tersedia (Thertina, 2020).

Board of Innovationfirma di bidang desain bisnis dan strategi globalmemprediksi disrupsi ini akan menghasilkan kebiasaan-kebiasaan baru yang tetap bertahan setelah pandemi berlalu. Ini dapat menjadi peluang atau tantangan bagi pelaku bisnis.

Keharusan bagi setiap negara untuk “menjaga jarak” dengan negara lain terkait pandemi merupakan sebuah hal yang berkontradiksi dengan interdependensi yang semakin erat dalam era globalisasi yang tercermin dari semakin meluasnya Global Value Chain (GVC). Cina telah menjelma menjadi pemasok utama barang input setengah jadi bagi berbagai perusahaan multinasional. Sekitar 20% dari produksi barang setengah jadi dunia berasal dari Negeri Tirai Bambu tersebut. Ketika Cina sebagai core country dalam GVC terguncang untuk pertama kalinya akibat merebaknya virus corona, hal tersebut memberikan dampak sistemik bagi siklus bisnis multinasional di seantero dunia (UNCTAD, 2020). Karenanya, pandemi ini menjadi insentif bagi berbagai perusahaan untuk mendiversifikasi rantai pasokannya. 

UNCTAD dan institusi lainnya telah memprediksi bahwa untuk meningkatkan ketahanan rantai pasokan akan banyak perusahaan multinasional yang kembali ke negara asal mereka, atau lebih dikenal dengan istilah “reshoring” (Panturu dan Surianta, 2020). Pengalaman dari perang dagang sebelumnya menunjukkan bahwa banyak perusahaan multinasional lebih memilih untuk memindahkan kegiatan mereka di Cina ke Asia Tenggara (The World Bank, 2018). Hal ini jelas menjadi sebuah peluang bagi Indonesia dalam mengakumulasi modal yang bermanfaat untuk mengakselerasi pertumbuhannya, sebagai upaya melepas rantai yang membelenggunya dalam kelompok negara berpendapatan menengah. Namun, jangan lupa bahwa kondisi ini turut membawa berbagai tantangan yang jika tidak diantisipasi dan berpotensi mengakibatkan ketertinggalan Indonesia dari negara tetangga lainnya.

Sepanjang 2019, terdapat 33 perusahaan yang melakukan relokasi industri dari Cina ke wilayah Asia Tenggara, namun tidak ada satu perusahaan yang melabuhkan pilihannya kepada Indonesia. Fenomena tersebut dapat terjadi lantaran indeks Ease of Doing Business yang rendah serta tingginya FDI Restrictiveness index yang dimiliki Indonesia. Negara kepulauan terbesar ini hanya menang dari Filipina dalam ruang lingkup ASEAN. World Bank (2019) menegaskan masalah terbesar yang dimiliki Indonesia adalah rumitnya peraturan investasi.  Ada sekitar 15.000 peraturan kementerian di Indonesia. Selain itu, setiap provinsi, kota, dan kabupaten juga bisa mengeluarkan peraturan mereka sendiri. Jika “obesitas peraturan” ini tidak ditangani secara teliti, Indonesia akan terus kesulitan untuk menarik investor asing (Panturu dan Surianta, 2020).

Oleh karena itu, syarat mutlak yang mesti dilakukan Indonesia untuk memanfaat momentum setelah pandemi ini berakhir demi menarik berbagai investasi asing ke dalam negeri adalah penyederhanaan peraturan yang ada. Birokrasi juga menjadi urgensi penting dalam menarik minat investor. Hal tersebut mesti dibuat lebih transparan lagi demi menghindari adanya rent-seeking behaviour yang memakan banyak biaya. Terakhir, pemerintah juga diharapkan dapat menciptakan iklim investasi yang baik melalui kondisi sosial politik negara yang terjamin (Putra dan Putra, 2020). 

Kecemasan dan depresi yang lebih besar setelah pandemi berlalu diyakini meningkat. Sebab, banyak orang diprediksi akan merasa lebih terisolasi, kehilangan pekerjaan, menghadapi masalah kesehatan dan  hubungan. Di tengah kondisi ini, kebutuhan atas terapi dan coaching diprediksi membesar. Begitu juga dengan aplikasi hiburan. Terlihat kenaikan permintaan untuk hewan peliharaan dan juga gim serta aplikasi online yang booming.

Permasalahan utama yang muncul di sini adalah Indonesia merupakan negara yang tidak memiliki advantages yang besar dalam pengembangan berbagai aplikasi yang dibutuhkan, seperti video conference, video streaming, dan gim. Indonesia hanya menjadi pangsa pasar yang besar, namun belum dapat dimanfaatkan dengan baik oleh negara Indonesia sendiri. Karenanya, pemerintah bersama pihak swasta dituntut agar lebih inovatif serta adaptif memanfaatkan pergeseran dalam kebiasaan masyarakat tersebut. Namun, penyedia layanan jasa seperti itu tidak berdampak signifikan dalam mendongkrak perekonomian, sebanding dengan efek multiplier yang tidak terlalu besar.

Perjalanan yang dilakukan antar negara dirasa akan tertekan, karena adanya resiko kemungkinan sulit untuk pulang atau ketidakpastian soal keamanan di negara lain (Thertina, 2020). Dengan kondisi ini, pariwisata lokal diprediksi bakal berkembang dengan resiko yang terbilang lebih rendah. 

Pandemi yang terjadi saat ini juga dapat mencerminkan tingkat efisiensi antara bekerja di kantor dan rumah. Jika work from home menghasilkan efisiensi kerja yang lebih besar, maka menjadi insentif untuk perusahaan melanjutkan program tersebut bahkan saat pandemi telah selesai. Platform media sosial asal Amerika, Twitter memperbolehkan karyawannya yang memang tidak membutuhkan kehadiran secara fisik, seperti bagian marketing untuk terus bekerja di rumah selamanya (Yusuf, 2020). 

Pada sisi terangnya, hal tersebut memberikan manfaat untuk mengurangi polusi udara serta volume kendaraan yang lalu lalang menuju pusat bisnis. Namun, manfaat tersebut dibarengi juga dengan permasalahan: dengan adanya work from home, otomatis permintaan akan properti yang digunakan sebagai kantor akan turut berkurang, ceteris paribus, sehingga menciptakan kelesuan dalam bisnis properti. 

Kebiasaan dalam melakukan transaksi jarak jauh tanpa adanya kontak fisik mengharuskan banyak bisnis retail dan agen produk menyesuaikan layanannya menjadi berbasis pengiriman. Berdasarkan kondisi ini, kemungkinan akan ada lebih banyak layanan pengiriman khusus, misalnya makanan beku. Selain itu, diperkirakan pula menjamurnya rantai pasok yang lebih maju, misalnya pengantaran untuk berbagai toko ke tujuan yang sama (Thertina, 2020). Hal ini menjadi peluang bagi perkembangan e-commerce dan perusahaan penyedia jasa pengiriman, namun menjadi tantangan bagi pengusaha ritel konvensional. 

Simpulan

Jebakan kelas menengah memang sudah menghantui Indonesia sejak lama, namun berpotensi semakin mengikat Indonesia pasca Corona. Rasanya sulit bagi Indonesia untuk mewujudkan cita-cita 100 tahun merdekanya di tengah dampak wabah yang sepertinya takkan pulih dalam waktu singkat. Berbagai faktor seperti penurunan produktivitas pekerja, insentif deglobalisasi, fluktuasi harga komoditas, lemahnya daya beli masyarakat, gangguan arus kas perusahaan, sulitnya mengakumulasi modal, dan ketidaksempurnaan penanganan COVID-19 menjadi tantangan bagi negara yang bermimpi lepas dari Middle Income Trap ini. Karenanya, pemerintah, swasta, dan berbagai pihak lainnya yang terlibat mesti menerapkan berbagai macam kebijakan yang dapat menyelamatkan dan menahan perekonomian Indonesia dari ancaman resesi. Hal ini dapat berupa restrukturisasi hutang, stimulus fiskal, pelonggaran kebijakan moneter, digitalisasi, diversifikasi mitra dagang, deregulasi, hilirisasi industri, asuransi sosial,  bantuan likuiditas terhadap perbankan, dan lainnya. Lagipula, merebaknya virus ini tak melulu membawa kepahitan. Ada juga peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan berkat pandemi ini. Contohnya, insentif relokasi industri ke wilayah Asia Tenggara, meningkatnya permintaan akan layanan hiburan & komunikasi daring, serta meningkatnya minat untuk berpartisipasi dalam e-commerce. Sayang, sebagian besar aktivitas ekonomi yang biasa dijalankan tidak dapat dilanjutkan tanpa pengorbanan kesehatan. Inilah situasi di mana masyarakat harus bijak memilah prioritas mereka. Memang, masyarakat yang tidak produktif akan membebani negara, namun tanpa masyarakat yang mengutamakan kesehatan, takkan ada pula pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Maka, apapun kebijakan yang diambil nantinya, diharapkan masyarakat dapat menjaga kesehatan mereka.

Florence Yokhebed Valarie

Muhammad Zaky Nur Fajar

Gambar Ilustrasi

https://feedzai.com/blog/coronavirus-economy-how-to-fight-fraud-friction-to-survive/

Referensi

A’yun dan Mudhaffir. 2020. “Indonesia Negara dengan Penanganan Covi-19 Terburuk se Asia Tenggara” di https://melbourneasiareview.edu.au/indonesia-is-exploiting-the-covid-19-crisis-for-illiberal-purposes/ 21 Mei 2020 pukul 10.05

Abrar. 2020. “Prediksi IMF Mengenai Pertumbuhan Ekonomi Indonesia tahun 2020” di https://www.cnbcindonesia.com/market/20200419092613-17-152924/jangan-kaget-ini-prediksi-sri-mulyani-soal-ekonomi-ri 18 Mei 2020 pukul 13.08

Ananta, Aris dan Sri Harijati Hatmadji (ed.). 1985. Mutu Modal Manusia: Suatu Analisis Pendahuluan. Jakarta: Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

ASEAN. 2020. “Economic Impact of COVID-19 Outbreak on ASEAN” di https://asean.org/storage/2020/04/ASEAN-Policy-Brief-April-2020_FINAL.pdf 22 Mei 2020 pukul 18.56

Aviliani. Siregar, H. Hasanah, H. (2014). Addressing the Middle-Income Trap: Experience of Indonesia  Asian Social Science, Vol. 10, No. 7; 2014 

Basri, F. H., & Putra, G. A. (2016). Escaping the middle income trap in Indonesia: An analysis of risks, remedies and national characteristics = Mengelak dari jebakan penghasilan menengah di Indonesia: Analisa resiko, pemecahan masalah dan karakteristik nasional. Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung Indonesia Office.

Basri, O. (2019, March 26). Indonesia Telah Menjelma sebagai Perekonomian Jasa. Retrieved May 19, 2020, from https://faisalbasri.com/2019/03/15/indonesia-telah-menjelma-sebagai-pekonomian-jasa/

Bayu, D. 2020. “Penurunan Tingkat Kepercayaan Publik” di https://katadata.co.id/berita/2020/04/24/kepercayaan-publik-terhadap-kemampuan-pemerintah-tangani-corona-turun 21 Mei 2020 pukul 11.48

Ben, B. 2020. “Analisis Penanganan Covid-19 di Indonesia” di https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/indonesia-covid-19-crisis-reveals-cracks-jokowi-s-ad-hoc-politics 21 Mei 2020 pukul 12.57

Bisnis. 2020. “Dunia Usaha Hanya Bisa Bertahan Selama Tiga Bulan” di https://kumparan.com/kumparanbisnis/dunia-usaha-hanya-bisa-bertahan-3-bulan-di-tengah-gempuran-corona-1tBQVmUWfsy/full 19 Mei 2020 pukul 20.08

BPS. (2018). Retrieved May 25, 2020, from https://www.bps.go.id/publication/2019/07/05/17703cb88c5ef84820141f9f/statistik-perdagangan-luar-negeri-indonesia-ekspor--2018--jilid-i.html

China's 2020 GDP growth set to sink to 44-year low as coronavirus cripples economy: Reuters poll. (2020, April 14). Retrieved May 27, 2020, from https://www.reuters.com/article/us-china-economy-poll/chinas-2020-gdp-growth-set-to-sink-to-44-year-low-as-coronavirus-cripples-economy-reuters-poll-idUSKCN21W0XL

CNN. 2020. “Jumlah Tenaga Kerja yang diPHK dan dirumahkan” di https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200422184523-92-496263/corona-208-juta-buruh-kena-phk-dan-dirumahkan-per-20-april 20 Mei 2020 pukul 07.50

Corruption Perception Index. (2019). Retrieved May 23, 2020, from https://www.transparency.org/en/cpi

DDTC. 2020. “Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020” di https://news.ddtc.co.id/resmi-perpu-1-2020-ditetapkan-jadi-undang-undang-20992 19 Mei 2020 pukul 15.45

Espartosa, J. (n.d.). Indonesia. Retrieved May 28, 2020, from https://oec.world/en/profile/country/idn/

Fornaro, Luca and Wolf, Martin, Covid-19 Coronavirus and Macroeconomic Policy (March 2020). CEPR Discussion Paper No. DP14529.

Fisipol UGM. 2020. “Permasalahan Utama Krisis Pandemi di Indonesia” di https://fisipol.ugm.ac.id/merespon-krisis-kebijakan-dan-koordinasi-buruk-pemerintah-dalam-menangani-pandemi-covid-19-fisipol-ugm-keluarkan-policy-brief/ 21 Mei 2020 pukul 23.28

Global Innovation Index 2019. Retrieved May 19, 2020, from https://www.globalinnovationindex.org/gii-2019-report

Gill, Indermit S.; Kharas, Homi. 2015. The middle-income trap turns ten (English). Policy Research working paper; no. WPS 7403. Washington, D.C. : World Bank Group. http://documents.worldbank.org/curated/en/291521468179640202/The-middle-income-trap-turns-ten

Gold, S. 2014. “Efek Multiplier dalam Ekonomi” di https://www.industryweek.com/the-economy/article/21963552/the-competitive-edge-manufacturings-multiplier-effect-its-bigger-than-you-think 20 Mei 2020 pukul 15.35

Hamdani, Trio. 2020. “Penurunan Investasi Asing Triwulan I 2020” di https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4988160/investasi-asing-anjlok-imbas-corona-ri-genjot-dari-dalam-negeri 20 Mei 2020 pukul 12.32

Hikam, H. (2020, February 02). Hilirisasi Industri Bisa Genjot Ekspor. Retrieved May 28, 2020, from https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4882388/hilirisasi-industri-bisa-genjot-ekspor

Indonesia - Exports Of Goods And Services (% Of GDP). (n.d.). Retrieved May 25, 2020, from https://tradingeconomics.com/indonesia/exports-of-goods-and-services-percent-of-gdp-wb-data.html

Indonesia Government effectiveness - data, chart. (n.d.). Retrieved May 23, 2020, from https://www.theglobaleconomy.com/Indonesia/wb_government_effectiveness/

Indonesia Manufacturing PMI2012-2020 Data: 2021-2022 Forecast: Calendar. (n.d.). Retrieved May 28, 2020, from https://tradingeconomics.com/indonesia/manufacturing-pmi

IPO. (2018). Key Findings of the Global Innovation Index (GII) 2018 (Publication). WIPO.

Kemendag. (2020). Neraca Perdagangan Dengan Mitra Dagang - Portal Statistik Perdagangan. Retrieved May 25, 2020, from http://statistik.kemendag.go.id/balance-of-trade-with-trade-partner-country

Kemenkeu, 2020. “Penerbitan Global Bond untuk Membiayai Penangan Pandmi” di https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/dukung-pembiayaan-covid-19-pemerintah-terbitkan-global-bond-senilai-4-3-miliar-usd/ 26 Mei 2020 pukul 13.40

Kharas, H., & Kohli, H. (2011). What Is the Middle Income Trap, Why do Countries Fall into It, and How Can It Be Avoided? Global Journal of Emerging Market Economies, 3(3), 281-289. doi:10.1177/097491011100300302

Kompas. 2019. “Jejak Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dari Masa ke Masa” di https://jeo.kompas.com/jejak-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-dari-masa-ke-masa 16 Mei 2020 pukul 23.09

Kompas. 2019. “Syarat Indonesia agar Menjadi Kekuatan Ekonomi Besar Dunia” di https://money.kompas.com/read/2019/11/20/114201526/syarat-ri-menjadi-negara-dengan-ekonomi-terbesar-di-2045-ekonomi-harus-tumbuh 16 Mei 2020 pukul 23.00

Kompas. 2020. “Dana Pelatihan Online Kartu Prakerja” di https://money.kompas.com/read/2020/04/25/211810826/gaduh-dana-rp-56-triliun-kartu-prakerja-untuk-bayar-pelatihan-atau-jadi-blt?page=all 21 Mei 2020 pukul 10.39

Kontan. 2020. “Relaksasi Kebijakan Ekspor Impor di Tengah Pandemi” di https://pressrelease.kontan.co.id/release/raker-kemendag-2020-fokus-dorong-relaksasi-ekspor-dan-impor 28 Mei 2020 pukul 21.00

Kumparan. 2020. “Pengesahan UU Minerba Menguntungkan Taipan Batu Bara” di https://kumparan.com/kumparannews/pengesahan-uu-minerba-kecurangan-saat-corona-berpihak-pada-korporat-batu-bara-1tPzyuZNShD/full 21 Mei 2020 pukul 11.46\

Lidhyana, V. 2020. “Pelonggaran PSBB sebagai Bentuk Herd Immunity” di https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5021970/wacana-pelonggaran-psbb-ekonom-rakyat-dijerumuskan 21 Mei 2020 pukul 11.00

Mankiw, N. G. (2020). Principles of economics. Boston, MA: Cengage Learning.

Mankiw, Gregory N. 2009. Macroeconomics. Worth Publisher: USA.

Medcom. 2020. “ Usulan Kebijakan Ekonomi  saat Pandemi oleh Tim Ahli DITSP UI di https://www.medcom.id/ekonomi/makro/ybDlD1mb-ui-usul-kebijakan-ekonomi-saat-pandemi-covid-19 22 Mei pukul 19.20

Mediatama, G. (2020, May 15). Begini rincian BPS terkait fluktuasi harga komoditas saat pandemi corona. Retrieved May 28, 2020, from https://nasional.kontan.co.id/news/begini-rincian-bps-terkait-fluktuasi-harga-komoditas-saat-pandemi-corona

Merdeka. 2020. “Alasan Perusahaan PHK Karyawan” di https://www.merdeka.com/uang/alasan-pengusaha-terpaksa-phk-karyawan-di-tengah-pandemi-corona.html 19 Mei 2020 pukul 23.09

Mishkin, FS. 2016. The Economics of Money, Bank, and Financial Market, 11th Edition. Hutagalung BN. 2017. Penerbit Salemba Empat: Jakarta

Muhamad, D., Nirmala, M., Siregar, F., & Tjahjono, J. (2020, March 02). Made in Somewhere Else: How Premature Deindustrialization Undermines the Development of Indonesia and other Emerging Economies (A. Domash, Ed.). Retrieved May 19, 2020, from https://ksr.hkspublications.org/2020/03/02/made-in-somewhere-else-how-premature-deindustrialization-undermines-the-development-of-indonesia-and-other-emerging-economies/

Muthiariny. 2019. “Jokowi Visions for Indonesia Largest Economy by 2045” di https://en.tempo.co/read/1203633/jokowis-vision-for-indonesia-worlds-largest-economy-by-2045 16 Mei 2020 pukul 22.55

Patunru, A. Octania, G., dan Audrine, P. (2020) Ringkasan Kebijakan No. 3: Penanganan Gangguan Rantai Pasok Pangan di Masa Pembatasan Sosial. JCenter for Indonesia Policy Studies: Jakarta

https://www.cips-indonesia.org/post/policy-brief-mitigating-food-supply-chain-disruptions-amid-covid-19

Pantunru, A. Surianta, A. (2020). Ringkasan Kebijakan No. 4: Menarik PMA Pasca Covid-19 Melalui Penyederhanaan Kerangka Kerja Peraturan Indonesia. Center for Indonesia Policy Studies: Jakarta

https://www.cips-indonesia.org/post/policy-brief-attracting-fdi-post-covid-19-by-simplifying-indonesia-s-regulatory-framework

Pines, L. (2020, March 15). Indonesia's Top Imports & Exports: Where Does It Get All The Fake Hair? Retrieved May 25, 2020, from https://commodity.com/indonesia/

PT Cekindo Business International. (2019, October 10). 10 Komoditas Ekspor Teratas di Indonesia. Retrieved May 28, 2020, from https://www.cekindo.com/id/blog/komoditas-ekspor-indonesia

Putra, R. D dan Putra, M. A. 2020. “Diversifikasi Perdagangan Pasca COVID-19  Potensi Sukses dan Ekses” di

https://drive.google.com/file/d/1sQd3oCk5JlBN7w8yXS94pTIDsWJB0_UI/view 22 Mei pukul 18.34

PWT 8.1. (2017, September 07). Retrieved May 18, 2020, from https://www.rug.nl/ggdc/productivity/pwt/pwt-releases/pwt8.1

Rahmat, M dan Ahman Erani Y. 2017. Di Bawah Bendera Pasar: Dari Nasionalisasi Menuju Liberalisasi Ekonomi. Empatdua: Malang

Rakhmat, M. Z. (2020, February 03). With China's help, Indonesia's pharmaceutical sector could soar. Retrieved May 27, 2020, from https://www.scmp.com/week-asia/opinion/article/3048628/china-could-be-key-partner-lifting-indonesias-pharmaceutical

Rodrik, D. (2015). “Premature Deindustrialization”, National Bureau of Economic Research, paper accessed from https://www.nber.org/papers/w20935.pdf. (Working paper No. 20935). Cambridge, Massachusetts: NATIONAL BUREAU OF ECONOMIC RESEARCH.

Sakti, N. W. 2020. “Multiplier Stimulus Fiskal Pemerintah” di https://money.kompas.com/read/2020/05/10/091500226/perekonomian-indonesia-pasca-pandemi-covid-19?page=all 28 Mei 2020 pukul 13.00

Sahara, N. 2020. “Dampak Covid terhadap Perbankan” di https://investor.id/finance/dampak-covid19-bank-buku-i-dan-ii-lebih-tertekan 20 Mei 2020 pukul 14.35

Samarasinghe, T. (2018). Impact of Governance on Economic Growth [Abstract]. Retrieved May 23,2020 from https://mpra.ub.uni-muenchen.de/89834/

Sandy, F. 2020. “Penjualan Mobil April 2020 di Indonesia” di https://www.cnbcindonesia.com/news/20200515182030-4-158873/penjualan-mobil-drop-90-tanda-tanda-krisis 19 Mei 2020 pukul 20.46

Sidik, S. 2020. “Efek Restrukturisasi terhadap Perbankan di Indonesia” di https://www.cnbcindonesia.com/market/20200403144631-17-149644/efek-restrukturisasi-kredit-waspada-laba-turun-npl-naik 20 Mei 2020 pukul 14.38

Sindhunata, B. 2019. “Mencapai Indonesia Emas 2045” di https://investor.id/opinion/mencapai-indonesia-emas-2045 16 Mei 2020 pukul 22.42

Surjaya. 2020. “Penurunan Produktivitas Industri di Bekasi” di https://jabar.sindonews.com/berita/22864/1/dampak-corona-produktivitas-ribuan-perusahaan-di-kabupaten-bekasi-menurun 19 Mei 2020 20.00

Tambun, L. 2020. “Bansos Salah Sasaran” di https://www.beritasatu.com/politik/633459-banyak-penerima-bansos-salah-sasaran-istana-akui-gunakan-data-2015 21 Mei 2020 pukul 10.15

The pandemic adds momentum to the deglobalization trend. (2020, April 23). Retrieved May 25, 2020, from https://www.piie.com/blogs/realtime-economic-issues-watch/pandemic-adds-momentum-deglobalization-trend

Thee Kian Wie. “Technology and Indonesia’s Industrial Competiveness” ADB Institute Discussion Paper No.43, 2006 

The World Bank. (2018). Indonesia Economic Quarterly 2018: Strengthening competitiveness.

Thertina, M. R. 2020. “Peluang Bisnis Baru Setelah Pandemi” di https://katadata.co.id/telaah/2020/04/17/munculnya-10-peluang-bisnis-baru-dari-hidup-normal-di-masa-pandemi/1 28 Mei 2020 pukul 14.20

Thomas. 2020. “Pertumbuhan Ekonomi Kuartal 1 tahun 2020” di https://tirto.id/ekonomi-kuartal-i-2020-tersungkur-indonesia-terancam-resesi-fpp5 18 Mei 2020 pukul 12.50

Tran Van Tho. “The Middle-Income Trap: Issues for Members of the Association of Southeast Asian Nations” Asian Development Bank Institute Working Paper Series, 2013 

UNCTAD. (2020). Global Trade Impact of The Corona Virus (COVID_19) Epidemic. UNCTAD: Jenewa https://unctad.org/en/PublicationsLibrary/ditcinf2020d1.pdf?user=1653

VOI. 2020. “Dampak Corona terhadap Dunia Usaha” di https://voi.id/artikel/baca/3839/dampak-covid-19-terganggunya-sektor-perekonomian-dan-sampai-berapa-lama-indonesia-bisa-bertahan 19 Mei 2020. 22.00

Wibowo, E. 2013. Analisis Pengaruh Kualitas Pemerintahan terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Asean. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Universitas Brawijaya: Malang

Wihardja, M. M. (2016). The effect of the Commodity boom on indonesia’s macroeconomic Fundamentals and industrial development. International Organisations Research Journal. vol. 11. no 1

Wilson, W T. 2014. Beating the Middle Income Trap in Southeast Asia. Massachusetts: The Heritage Foundation

Wiratmini. 2020. “Perlambatan Penyaluran Kredit Perbankan” di https://finansial.bisnis.com/read/20200416/90/1228292/survei-perbankan-indonesia-kuartal-i2020-penyaluran-kredit-baru-tumbuh-melambat 20 Mei 2020 pukul 15.00

WITS. (2018). Indonesia trade statistics. Retrieved May 27, 2020, from https://wits.worldbank.org/CountryProfile/en/IDN

Workman, D. (2019, October 24). Indonesia's Top Trading Partners. Retrieved May 28, 2020, from http://www.worldstopexports.com/indonesias-top-15-import-partners/

Worldbank. (2020). Most Commodity Prices to Drop in 2020 As Coronavirus Depresses Demand and Disrupts Supply. (n.d.). Retrieved May 28, 2020, from https://www.worldbank.org/en/news/press-release/2020/04/23/most-commodity-prices-to-drop-in-2020-as-coronavirus-depresses-demand-and-disrupts-supply

WTO. (2020). Trade set to plunge as COVID-19 pandemic upends global economy. Retrieved May 25, 2020, from https://www.wto.org/english/news_e/pres20_e/pr855_e.htm

Yuniartha, L. (2018). Indef: Perlambatan ekonomi China akan pengaruhi ekspor ... Retrieved May 27, 2020, from https://nasional.kontan.co.id/news/indef-perlambatan-ekonomi-china-akan-pengaruhi-ekspor-indonesia

Yusuf, O. 2020. “Kebijakan WFH Selamanya oleh Twitter” di https://tekno.kompas.com/read/2020/05/14/08160007/twitter-izinkan-karyawan-kerja-dari-rumah-selamanya- 28 Mei 2020 pukul 14.23
















Komentar

  1. Analisis yg luar biasa disertai penjelasannya yg komprehensif, semoga bisa menginspirasi kita semua.

    BalasHapus
  2. Masya allah zakii tulisannya seperti ingin menjadi iron man �� sukses terus buat tulisannya, gapernah bosen baca karya tulisan zaki, eh sama florence jugaa kamu hebatt deh.. Ditunggu yah karya selanjutnya, see u on top ��

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer