Indonesia dan Perlambatan Ekonomi
Menilik performa perekonomian
berbagai negara di belahan dunia, sebenarnya Indonesia patut berbangga, karena
menjadi negara yang memiliki resiliensi terhadap tendensi global yang
ditunjukan dengan pertumbuhan ekonomi tercepat kedua di dunia setelah Republik
Rakyat Tiongkok yang mencapai kisaran 6,3%. Dibandingkan dengan negara emerging market lainnya pertumbuhan
ekonomi Indonesia juga dapat dikatakan bagus ditengah impresi dan
ketidakpastian perekonomian global yang terus terperembab. Di lihat dalam sisi
kontraksi pertumbuhan pada kuartal IV 2019 pun Indonesia terbilang kecil
dibandingkan dengan negara lainnya. RRT mengalami kontraksi sebesar 0,5%, India
mengalami kontraksi yang lebih parah sebesar 3% dan turun pada peringkat
keempat negara dengan pertumbuhan tertinggi. Kontaraksi dan pesimistis
pertumbuhan ekonomi di dunia ini tidak terlepas dari tendensi perang dagang
antara dua negara perekonomian terbesar, China dan USA yang tak kunjung reda
pada tahun 2019. Namun, dengan pencapaiannya yang terbilang baik dibandingkan
dengan perekonomian global, Indonesia mesti berhati-hati karena jangan sampai
dengan pencapaian ini Indonesia jadi menutup mata dengan target pertumbuhan
ekonomi yang pernah digaungkan oleh Presiden Jokowi sebesar 7% sekaligus
tingkat pertumbuhan untuk melepaskan Indonesia dari jeratan Middle Income Trap.
Indonesia juga jangan berpuas diri dan seolah mengkambinghitamkaniklim
perekonomian global, sehingga permasalahan yang sejatinya bersumber dari dalam
negeri tidak diindahkan.
Perlambatan pertumbuhan perekonomian
di Indonesia terjadi lantaran komponen-komponen yang mendasari perhitungan
pendapatan nasional mengalami kontraksi yang beragam. Konsumsi tetap menjadi
sektor penyusun pendapatan domestik bruto terbesar untuk Indonesia, bahkan
kontribusinya terus meningkat. Berdasarkan data yang dihimpun oleh BPS
menunjukan bahwa konsumsi menyumbang sebesar 57,32% dari total keseluruhan PDB
Indonesia. Namun, dengan posisinya yang sangat strategis ini, konsumsi hanya
mampu tumbuh sebesar 5,04% atau lebih rendah dibanding tahun 2018 yang sebesar
5,05%. Walaupun selisih angka ini terlihat sangat kecil sebesar 0,01%, tapi
mengingat kontribusinya yang sangat besar, perbedaan ini sangat berpengaruh
terhadap perlambatan ekonomi Indonesia. Kontraksi dalam komponen konsumsi Indonesia
tercatat sebesar 4,97% kuartal IV 2019 atau terkontraksi sebesar 1,1% (yoy). Kepala BPS Suhartiyo menyatakan
bahwa Fenomena ini dapat terjadi lantaran berbagai indikator penunjang konsumsi
mengalami kemandekan, diantaranya penjualan eceran
pada kuartal IV yang tumbuh hanya 1,52 persen atau lebih lambat dibandingkan
penjualan eceran pada kuartal IV 2018. Indikator lain terlihat dari penjualan
wholesale sepeda motor dan mobil penumpang masing-masing kontraksi sebesar 5,60
persen dan 7,24 persen. Demikian juga nilai transaksi uang
elektronik kartu debit dan kredit 3,85 persen jauh dibandingkan kuartal IV 2018
yang tumbuh sebesar 13,81 persen.
Sektor Investasi dan pengeluaran
pemerintah pun tidak dapat lepas dari fenomena kontraksi ini. Pembentukan Modal
Tetap Bruto atau PMTB Indonesia hanya tumbuh sebesar 4,45% pada tahun 2019,
jauh lebih kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai kisaran
6,64%. Padahal sector ini merupakan penyumbang PDB terbesar kedua untuk
Indonesia dengan kontribusi mencapai sekitar 33%. Komponen dalam pertumbuhan
investasi tercatat minus. Komponen tersebut adalah kendaraan yang minus 4,52
persen sepanjang 2019, berbanding terbalik dengan posisi 2018 yang tumbuh 8,71
persen. Komponen peralatan lainnya minus 2,99 persen dan produk kekayaan
intelektual minus 0,23 persen pada tahun lalu. Sementara, pada 2018 komponen
peralatan lainnya masih naik 8,18 persen, sedangkan produk kekayaan intelektual
minus hingga 1,35 persen. Pengeluaran pemerintah yang seharusnya dapat
menjadi pemantik atau daya picu perekonomian Indonesia juga mengalami
perlambatan pertumbuhan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. BPS merilis angka
serapan belanja pemerintah pusat di 2019 tumbuh
tiga persen. Namun jika dibandingkan dengan 2018, serapan belanja tersebut
mengalami perlambatan lantaran tahun sebelumnya tumbuh 15 persen.
Hal
lain yang patut diwaspadai adalah sektor ekspor maupun impor yang mengalami
kontaraksi dimana ekspor mengalami pertumbuhan -0,84%, sedangkan impor
mengalami pertumbuhan yang negative pula sebesar -7,69%. Keadaan ini dapat
terjadi lantaran memanasnya iklim dagang dunia yang dipicu oleh perang dagang yang
terjadi antara AS dan RRT sepanjang tahun 2019 ini. Volume perdagangan duniapun
hanya bertumbuh sebesar 1%. Melemahnya perekonomian di kedua negara adidaya
yang juga merupakan mitra dagang strategis Indonesia serta dunia ini pastinya
berimbas pada realisasi ekspor-impor yang semakin tertekan. Jika dilihat
sekilas mungkin orang awam berpendapat bahwa menurunnya impor ini merupakan hal
yang positif. Namun, harus dievaluasi terlebih dahulu komponen impor apa yang
mengalami penurunan kuantitas perdagangan. Jika ditelisik ternyata impor bahan
baku dan penolong yang mengalami kontaraksi terdalam dibandingkan dengan indikator
impor lainnya. Realisasi impor bahan baku dan penolong pada tahun 2019 ini
adalah sebesar $125,903M atau terkontraksi cukup dalam sebsesar 11,07%. Hal ini
tentunya sangat berbahaya karena bahan baku dan penolong merupakan komponen
dasar atau bahan baku bagi industri dalam melakukan kegiatan produksi.
Penurunan impor tersebut dapat mengindikasikan terjadinya perlambatan industri atau
yang lebih parah dapat disebut sebagai fenomena deindustrialisasi. Terlebih
sangat berpangaruh pada sektor industry farmasi yang 75% komponen bahan bakunya
merupakan barang impor. Perlambatan ini
ditunjukan dengan pertumbuhan industri pengolahan yang tumbuh hanya sebesar
3,8% melambat dibandingkan tahun 2018 yang mencapai angka 4,27%..
Dengan
pencapaian pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tengah melambat dan tidak sesuai
target yang diharapkan dapat menjadi sebuah sinyal kuat bahwa pemerintah mesti
melakukan pembenahan dalam berbagai kebijakan serta regulasi yang berpengaruh
bagi kelangsungan iklim ekonomi Indonesia. Salah satu kebijakan yang dapat
diambil adalah peningkatan social
spending serta pengaturan ulang regulasi perpajakan, sehingga dapat memberi
insentif bagi rumah tangga dalam meningkatkan daya beli mereka. Deregulasi
perpajakan, khususnya yang menyangkut masalah penciptaan usaha juga sangat
penting demi meningkatkan indeks tendensi bisnis yang saat ini semakin
memburuk. Dengan adanya penetapan regulasi pajak yang mendukung iklim investasi
dapat menjadi upaya untuk meningkatkan produktivitas negri serta menyerap
angkatankerja yang berdampak pada penurunan tingkat pengangguran. Salah satu
upaya yang sedang dilakukan pemerintah adalah dengan menyusun omnimbus law cipta lapangan kerja dan
perpajakan yang diharapkan dapat menjadi katalis dalam mengakselerasi
perekonomian Indonesia. Indonesia juga perlu meningkatkan perhatiannya akan research and development sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing yang dimiliki industri yang ada di negara ini. Karena seperti yang kita ketahui bahwa dana APBN yang dialokasikan untuk kegiatan penelitian terbilang sangatlah kecil jika dibandingkan dengan negata lainnya. Pemerintah di era digital ini juga dapat meningkatkan
volume transaksi konsumsi, khususnya konsumsi masyarakat dengan meningkatkan
realisasi penggunaan QRIS atau Quick Response Indonesia Standard. QRIS ini merupakan
sebuah sistem pembayaran menggunakan QR
code yang terintegrasi dengan aplikasi-aplikasi dompet digital atau uang
digital yang dimiliki baik usaha perbankan maupun non-perbankan, seperti usaha
rintisan semisal gopay saat ini sedang mengalami trend. QRIS ini patut untuk diberdayakan pada usaha-usaha yang ada
atau merchant presented mode,
khususnya pelaku UMKM sebagai upaya dalam percepatan dan kemudahan transaksi
serta memiliki kelebihan dalam pencatatan transaksi secara otomatis, sehingga
pembukuan dapat dilakukan dengan mudah. Hal ini dapat menjaga kelangsungan
hidup UMKM menjadi lebih baik dan tertata. Dalam menghadapi tendensi trade war serta untuk mengurangi
ketergantugan akan impor, Indonesia perlu mengembangkan industri-industri yang
dapat menjadi substitusi impor terlebih lagi industry bahan baku dan penolong
yang selama ini keberadaanya begitu vital bagi supply chain industri-industri lainnya.
Komentar
Posting Komentar