Indonesia dan Perlambatan Ekonomi


             

             Badan Pusat Statistik telah merilis hasil kinerja perekonomian Indonesia yang didasarkan pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang terjadi sepanjang tahun 2019 ini. Terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh salah satu negara anggota G-20 ini tidak cukup menggembirakan. Performa perekonomian Indonesia hanya menyentuh angka 5,02% secara akumulatif dengan pertumbuhan terendah yang terjadi pada kuartal IV 2019 dengan angka dibawah 5%, yaitu sebesar 4,97%. Hal ini menunjukan perlambatan dimana pada tahun 2018 Indonesia dapat mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,17%. Jelas hal ini menunjukan keadaan yang dapat dikatakan tidak menyenangkan, mengapa? Karena berdasarkan data historis pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 5 tahun terakhir, negara kepulauan terbesar di dunia ini hanya mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonominya pada kisaran angka 5% dengan capaian terendah pada tahun 2019 ini. Kuartal IV 2019 juga menandakan lesunya perekonomian dengan capaian yang kurang memuaskan, padahal seperti yang kita ketahui bersama bahwa kuartal IV ini dapat dikatakan sebagai kuartal harapan untuk memperbaiki kinerja perekonomian di Indonesia dengan banyaknya hari-hari besar, seperti Hari Raya Natal, Hari Belanja Online Nasional, dan libur tahun baru.

            Menilik performa perekonomian berbagai negara di belahan dunia, sebenarnya Indonesia patut berbangga, karena menjadi negara yang memiliki resiliensi terhadap tendensi global yang ditunjukan dengan pertumbuhan ekonomi tercepat kedua di dunia setelah Republik Rakyat Tiongkok yang mencapai kisaran 6,3%. Dibandingkan dengan negara emerging market lainnya pertumbuhan ekonomi Indonesia juga dapat dikatakan bagus ditengah impresi dan ketidakpastian perekonomian global yang terus terperembab. Di lihat dalam sisi kontraksi pertumbuhan pada kuartal IV 2019 pun Indonesia terbilang kecil dibandingkan dengan negara lainnya. RRT mengalami kontraksi sebesar 0,5%, India mengalami kontraksi yang lebih parah sebesar 3% dan turun pada peringkat keempat negara dengan pertumbuhan tertinggi. Kontaraksi dan pesimistis pertumbuhan ekonomi di dunia ini tidak terlepas dari tendensi perang dagang antara dua negara perekonomian terbesar, China dan USA yang tak kunjung reda pada tahun 2019. Namun, dengan pencapaiannya yang terbilang baik dibandingkan dengan perekonomian global, Indonesia mesti berhati-hati karena jangan sampai dengan pencapaian ini Indonesia jadi menutup mata dengan target pertumbuhan ekonomi yang pernah digaungkan oleh Presiden Jokowi sebesar 7% sekaligus tingkat pertumbuhan untuk melepaskan Indonesia dari jeratan Middle Income Trap. Indonesia juga jangan berpuas diri dan seolah mengkambinghitamkaniklim perekonomian global, sehingga permasalahan yang sejatinya bersumber dari dalam negeri tidak diindahkan.
            Perlambatan pertumbuhan perekonomian di Indonesia terjadi lantaran komponen-komponen yang mendasari perhitungan pendapatan nasional mengalami kontraksi yang beragam. Konsumsi tetap menjadi sektor penyusun pendapatan domestik bruto terbesar untuk Indonesia, bahkan kontribusinya terus meningkat. Berdasarkan data yang dihimpun oleh BPS menunjukan bahwa konsumsi menyumbang sebesar 57,32% dari total keseluruhan PDB Indonesia. Namun, dengan posisinya yang sangat strategis ini, konsumsi hanya mampu tumbuh sebesar 5,04% atau lebih rendah dibanding tahun 2018 yang sebesar 5,05%. Walaupun selisih angka ini terlihat sangat kecil sebesar 0,01%, tapi mengingat kontribusinya yang sangat besar, perbedaan ini sangat berpengaruh terhadap perlambatan ekonomi Indonesia. Kontraksi dalam komponen konsumsi Indonesia tercatat sebesar 4,97% kuartal IV 2019 atau terkontraksi sebesar 1,1% (yoy). Kepala BPS Suhartiyo menyatakan bahwa Fenomena ini dapat terjadi lantaran berbagai indikator penunjang konsumsi mengalami kemandekan, diantaranya penjualan eceran pada kuartal IV yang tumbuh hanya 1,52 persen atau lebih lambat dibandingkan penjualan eceran pada kuartal IV 2018. Indikator lain terlihat dari penjualan wholesale sepeda motor dan mobil penumpang masing-masing kontraksi sebesar 5,60 persen dan 7,24 persen. Demikian juga nilai transaksi uang elektronik kartu debit dan kredit 3,85 persen jauh dibandingkan kuartal IV 2018 yang tumbuh sebesar 13,81 persen.
            Sektor Investasi dan pengeluaran pemerintah pun tidak dapat lepas dari fenomena kontraksi ini. Pembentukan Modal Tetap Bruto atau PMTB Indonesia hanya tumbuh sebesar 4,45% pada tahun 2019, jauh lebih kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai kisaran 6,64%. Padahal sector ini merupakan penyumbang PDB terbesar kedua untuk Indonesia dengan kontribusi mencapai sekitar 33%. Komponen dalam pertumbuhan investasi tercatat minus. Komponen tersebut adalah kendaraan yang minus 4,52 persen sepanjang 2019, berbanding terbalik dengan posisi 2018 yang tumbuh 8,71 persen. Komponen peralatan lainnya minus 2,99 persen dan produk kekayaan intelektual minus 0,23 persen pada tahun lalu. Sementara, pada 2018 komponen peralatan lainnya masih naik 8,18 persen, sedangkan produk kekayaan intelektual minus hingga 1,35 persen. Pengeluaran pemerintah yang seharusnya dapat menjadi pemantik atau daya picu perekonomian Indonesia juga mengalami perlambatan pertumbuhan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. BPS merilis angka serapan belanja pemerintah pusat di 2019 tumbuh tiga persen. Namun jika dibandingkan dengan 2018, serapan belanja tersebut mengalami perlambatan lantaran tahun sebelumnya tumbuh 15 persen.
            Hal lain yang patut diwaspadai adalah sektor ekspor maupun impor yang mengalami kontaraksi dimana ekspor mengalami pertumbuhan -0,84%, sedangkan impor mengalami pertumbuhan yang negative pula sebesar -7,69%. Keadaan ini dapat terjadi lantaran memanasnya iklim dagang dunia yang dipicu oleh perang dagang yang terjadi antara AS dan RRT sepanjang tahun 2019 ini. Volume perdagangan duniapun hanya bertumbuh sebesar 1%. Melemahnya perekonomian di kedua negara adidaya yang juga merupakan mitra dagang strategis Indonesia serta dunia ini pastinya berimbas pada realisasi ekspor-impor yang semakin tertekan. Jika dilihat sekilas mungkin orang awam berpendapat bahwa menurunnya impor ini merupakan hal yang positif. Namun, harus dievaluasi terlebih dahulu komponen impor apa yang mengalami penurunan kuantitas perdagangan. Jika ditelisik ternyata impor bahan baku dan penolong yang mengalami kontaraksi terdalam dibandingkan dengan indikator impor lainnya. Realisasi impor bahan baku dan penolong pada tahun 2019 ini adalah sebesar $125,903M atau terkontraksi cukup dalam sebsesar 11,07%. Hal ini tentunya sangat berbahaya karena bahan baku dan penolong merupakan komponen dasar atau bahan baku bagi industri dalam melakukan kegiatan produksi. Penurunan impor tersebut dapat mengindikasikan terjadinya perlambatan industri atau yang lebih parah dapat disebut sebagai fenomena deindustrialisasi. Terlebih sangat berpangaruh pada sektor industry farmasi yang 75% komponen bahan bakunya merupakan barang impor.  Perlambatan ini ditunjukan dengan pertumbuhan industri pengolahan yang tumbuh hanya sebesar 3,8% melambat dibandingkan tahun 2018 yang mencapai angka 4,27%..
            Dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tengah melambat dan tidak sesuai target yang diharapkan dapat menjadi sebuah sinyal kuat bahwa pemerintah mesti melakukan pembenahan dalam berbagai kebijakan serta regulasi yang berpengaruh bagi kelangsungan iklim ekonomi Indonesia. Salah satu kebijakan yang dapat diambil adalah peningkatan social spending serta pengaturan ulang regulasi perpajakan, sehingga dapat memberi insentif bagi rumah tangga dalam meningkatkan daya beli mereka. Deregulasi perpajakan, khususnya yang menyangkut masalah penciptaan usaha juga sangat penting demi meningkatkan indeks tendensi bisnis yang saat ini semakin memburuk. Dengan adanya penetapan regulasi pajak yang mendukung iklim investasi dapat menjadi upaya untuk meningkatkan produktivitas negri serta menyerap angkatankerja yang berdampak pada penurunan tingkat pengangguran. Salah satu upaya yang sedang dilakukan pemerintah adalah dengan menyusun omnimbus law cipta lapangan kerja dan perpajakan yang diharapkan dapat menjadi katalis dalam mengakselerasi perekonomian Indonesia. Indonesia juga perlu meningkatkan perhatiannya akan research and development sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing yang dimiliki industri yang ada di negara ini. Karena seperti yang kita ketahui bahwa dana APBN yang dialokasikan untuk kegiatan penelitian terbilang sangatlah kecil jika dibandingkan dengan negata lainnya. Pemerintah di era digital ini juga dapat meningkatkan volume transaksi konsumsi, khususnya konsumsi masyarakat dengan meningkatkan realisasi penggunaan QRIS atau Quick Response Indonesia Standard. QRIS ini merupakan sebuah sistem pembayaran menggunakan QR code yang terintegrasi dengan aplikasi-aplikasi dompet digital atau uang digital yang dimiliki baik usaha perbankan maupun non-perbankan, seperti usaha rintisan semisal gopay saat ini sedang mengalami trend. QRIS ini patut untuk diberdayakan pada usaha-usaha yang ada atau merchant presented mode, khususnya pelaku UMKM sebagai upaya dalam percepatan dan kemudahan transaksi serta memiliki kelebihan dalam pencatatan transaksi secara otomatis, sehingga pembukuan dapat dilakukan dengan mudah. Hal ini dapat menjaga kelangsungan hidup UMKM menjadi lebih baik dan tertata. Dalam menghadapi tendensi trade war serta untuk mengurangi ketergantugan akan impor, Indonesia perlu mengembangkan industri-industri yang dapat menjadi substitusi impor terlebih lagi industry bahan baku dan penolong yang selama ini keberadaanya begitu vital bagi supply chain industri-industri lainnya.

Komentar

Postingan Populer