“Middle Income Trap” Era yang Terus Membayangi Indonesia




Indonesia merupakan salah satu dari puluhan bahkan ratusan negara berkembang yang terjebak dalam belenggu yang biasa disebut sebagai jebakan kelas menengah atau middle income trap. Hal ini menandakan bahwa sebuah Negara yang berada pada kalangan kelas menengah tidak dapat mengakselerasi perekonomiannya menuju status Negara maju dan stagnan di kelas menengah dalam jangka waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan pidatonya terus menyampaikan langkah optimisnya dalam membebaskan Indonesia dari kekangan permasalahan tersebut dan berharap Indonesia dapat menjadi Negara maju, bukan hanya maju, tetapi mampu menjadi negara dengan Produk Domestik Bruto terbesar ke empat di dunia. Pertanyaannya apakah hal ini mungkin terjadi?

Sebelum itu mari kita bahas terlebih dahulu penyebab mengapa Indonesia mengalami keadaan middle income trap ini. Hal utama yang menjadi sorotan penulis adalah Produk Domestik Bruto Indonesia yang didominasi oleh sektor rumah tangga konsumsi melalui kegiatan konsumsinya. Berdasarkan data yang telah dihimpun oleh Badan Pusat Statistik menunjukan bahwa dominasi sektor konsumsi rumah tangga terhadap PDB Indonesia mencapai sekitar 56,82%, tentunya hal ini merupakan porsi yang sangat besar. Permasalahan yang terjadi dalam kasus ini adalah sektor konsumsi merupakan sektor konsumtif dan tidak dapat berpengaruh besar bagi peremajaan siklus bisnis serta tidak dapat berpengaruh langsung terhadap penurunan angka pengangguran dan masalah-masalah makroekonomi lainnya. Terlebih lagi dengan porsi konsumsi yang besar memiliki kecendrungan dalam mempengaruhi peningkatan terhadap inflasi. Konsumsi yang tinggi ini juga dapat memiliki efek domino yang buruk terhadap PDB apabila sektor konsumsi didominasi alat pemuas kebutuhan yang berorientasi impor. Konsumsi yang tinggi dan terus meningkat ini memang dapat meningkatkan PDB, namun karena konsumsi ini dipenuhi oleh impor maka PDB nya akan ikut terkoreksi pula, sehingga peningkatan PDB tidak akan terlalu tinggi. Hal ini tercermin dari data BPS bahwa impor barang dan jasa konsumsi Indonesia naik sebesar 18,06 % jauh melampaui ekspor yang hanya meningkat 6,59%.

Faktor kedua yang melatarbelakangi Indonesia menjadi negara yang sedang terjebak dalam middle income trap adalah medominasinya produk komoditas dan migas dalam neraca perdagangan ekspor Indonesia. Hal yang menjadi dasar mengapa kedua sektor penyumbang angka ekspor terbesar di Indonesia ini  menjadi faktor penghambat Indonesia untuk dapat lepas dari jebakan kelas menengah adalah inkonsistensi harga yang sangat dipengaruhi oleh kondisi pasar yang biasanya memiliki tren menurun maupun umur atau keberkelanjutannya yang menjadi pertanyaan besar. Salah satu fenomena yang sedang hangat terjadi adalah adanya pembatasan ekspor atas produk crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah Indonesia dalam pasar Uni Eropa. Hal ini langsung berdampak kepada penurunan signifikan terhadap permintaan CPO dan diikuti oleh penurunan harga yang sangat besar. Karena masalah yang dialami CPO ini pula langsung berdampak pada penurunan ekspor Indonesia sebesar 11% pada bulan Februari 2019 (YoY). Sektor migas juga merupakan sector yang memiliki masa depan yang kurang menjanjikan yang disebabkan oleh tingkat ketersediaan yang pastinya semakin menurun. Oleh karena itu, dalam rangka mengatasi hal tersebut, Indonesia perlu berfokus untuk bertransformasi menjadi negara yang mengekspor barang-barang industri manufaktur maupun jasa yang berkualitas dengan nilai jual tinggi. Barang dan jasa yang memiliki nilai jual tinggi cenderung memiliki ketahanan terhadap guncangan pasar karena memiliki pangsa pasar serta segmen konsumen tersendiri. Contohnya adalah Apple, produk ponsel pintar asal Amerika Serikat. Pengaruh pasar tidak mendominasi dalam penentuan harga serta distribusi produk tersebut. Indonesia perlu mengembangkan branding dari merek-merek asli Indonesia agar terkenal dan mendunia. Jika seseorang menyebutkan USA pasti yang akan terbanyang di benak kita adalah Apple, Microsoft, Amazon, dll. Jika kita menyebutkan Jerman pasti yang terbayang di pikiran kita adalah Volkswagen, Mercedes Benz, BMW, dll. Namun, jika kita menyebutkan nama Indonesia pada masyaraka luar negeri, apa yang ada di dalam pikiran mereka? Negara terbelakang yang ada di timur sana atau bahkan tidak mengetahui apa itu Indonesia. Dengan adanya branding tersebut, selain dapat menjadi sarana ekspor yang menjanjikan, tetapi dapat menjadi sarana promosi dan “kebanggaan” negara.
Fenomena yang berkaitan langsung dengan adanya middle income trap ini adalah adanya deindustrialisasi yang tengah dialami oleh Indonesia. INDEF menyebutkan bahwa Indonesia mengalami penurunan porsi manufaktur terhadap PDB sebesar 7% dalam sepuluh tahun terakhir. Negara sebaya (peers) di ASEAN, seperti Thailand dan Malaysia, melambatnya bahkan tidak lebih dari 4%. Hal ini merupakan peristiwa yang sangat mengerikan, mengapa begitu? Karena setidaknya terdapat dua dampak besar yang menghantui Indonesia, yaitu penurunan penerimaan pajak dan daya serap tenaga kerja oleh manufaktur yang semakin berkurang. Per Februari lalu, pertumbuhan penerimaan pajak dari sektor industri pengolahan mengalami kontraksi -11,3% yoy atau sebesar Rp 36,87 triliun, periode yang sama tahun sebelumnya, penerimaan pajak sektor industri pengolahan tumbuh 13,2% yoy, padahal sector manufaktur sendiri merupakan penyumbang terbesar untuk pajak negara. Penurunan pajak ini dapat berdampak kepada penurunan Government Expenditure yang akan berimplikasi kepada penurunan pendapatan nasional. Daya serap tenaga kerja dalam sector manufaktur yang rendah juga berdampak pada pergeseran pekerjaan ke dalam sector jasa yang mana di Indonesia lebih mengarah kepada sector informal dengan konsep kesejahteraan yang lebih rendah.
Sebaiknya dalam mewujudkan kebebasan terhadap middle income trap Indonesia mesti mengubah porsi PDB nya ke dalam sektor investasi dan juga net export, khususnya investasi dalam sektor riil. Investasi dalam sektor riil ini merupakan sebuah solusi karena dengan peningkatan investasi yang tinggi dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, ekonomi Indonesia perlu tumbuh lebih tinggi lagi agar bisa keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah atau middle income trap. Hal ini disampaikan oleh Sri Mulyani saat memberikan tanggapan dalam sidang paripurna DPR terkait RUU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN 2018. "Berdasarkan skenario perekonomian jangka panjang, ekonomi Indonesia perlu tumbuh di atas 6 persen per tahun sebagai prasyarat agar mampu keluar dari middle income trap," ujarnya. Alasan investasi riil memiliki efek multiplier yang besar untuk mengakselerasi dan mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah investasi riil berpengaruh langsung terhadap penurunan pengangguran dan peningkatan produktivitas suatu negara yang menjadi faktor utama pertumbuhan ekonomi. Angka pengangguran yang terus menurun akan berimplikasi kepada daya beli masyarakat yang meningkat, sehingga permintaan agregar suatu Negara meningkat dan pendapatan nasionalnya pun turut meningkat. Peningkatan produktivitas suatu Negara akan berefek kepada penawaran agregat yang terus meningkat, sehingga efeknya sama dengan penurunan pengangguran, yaitu peningkatan pendapatan nasional. Tingginya investasi riil di Indonesia juga dapat menjadi cerminan dari birokrasi dan iklim politik yang baik serta berpeluang untuk menjadi negara dengan orientasi ekspor yang tinggi. Industrialisasi juga mesti dibarengi dengan peningkatan sumber daya manusia serta ilmu pengetahuan dan teknologi agar nilai tambah serta keefektivitasan dari proses produksi dapat terus meningkat dan produknya pun dapat bersaing di kancah internasional. Salah satu cara yang paling ampuh dalam meningkatkan investasi yang sampai saat ini masih satgnan di kisaran 6% adalah dengan debirokritasi dan penyederhanaan regulasi bagi penanaman serta penciptaan investasi di Indonesia. 

Komentar

Postingan Populer