Mata Uang Melemah Salah Siapa?
Tidak terasa kita bersama telah memasuki 2019 yang
pastinya berbagai macam resolusi dan impian-impian di tahun ini terlintas di
benak kita semua. Namun, dalam tulisan kali ini saya ingin menganjak pembaca sekalian
untuk flashback dan menelaah lagi
salah satu peristiwa yang sangat menggemparkan negara rayuan kelapa ini,
khususnya dalam sektor ekonomi yang sangat vital keberadaannya bagi masyarakat,
yaitu penurunan nilai mata uang rupiah.
Pada tahun 2018, keadaan iklim finansial di Indonesia
dapat dikatakan buruk, hal ini tercermin dari grafik kekuatan rupiah terhadap
dolar Amerika Serikat yang terus-menerus melemah. Fenomena ini pertama kali
terlihat pada tanggal 8 Februari dimana saat itu mata uang kita menembus angka
Rp13.600,00. Waktu demi waktu pun terus berjalan, begitu pula dengan posisi
rupiah yang semakin melemah jika disandingkan dengan mata uang negeri Paman
Sam tersebut. Puncak dari kondisi di atas adalah ketika rupiah mendobrak nilai
pelemahan yang sangat buruk diangka Rp15,000,00 sekitar bulan Oktober. Tentunya
badai finansial yang menerjang Indonesia merupakan hal yang sangat buruk.
Kenapa sih pelemahan rupiah ini menjadi momok yang sangat
menakutkan bagi perekonomian bangsa Indonesia? Alasannya ya karena jika rupiah melemah maka barang-barang atau produk yang berasa dari luar negeri akan meningkat harganya. Tapi kan bukannya dengan depresiasi nilai mata uang kita justru akan
meningkatkan jumlah ekspor dan menurunkan tingkat impor, sehingga neraca
pembayaran akan mengalami surplus? Memang benar pada hakikatnya jika suatu negara
mengalami penurunan nilai mata uang otomatis harga barang negara tersebut
terlihat murah jika dilihat oleh negara lainnya yang akan merangsang hasrat
untuk membeli. Fenomena ini dapat dibuktikan dengan kebijakan devaluasi
pemerintah Tiongkok yang memangkas Yuan dalam memicu ekspor negara Tirai Bambu
tersebut dengan hasil yang cukup baik. Dibalik itu semua, tidak semua negara
dapat mengalami hal tersebut, khususnya negara berkembang seperti Indonesia,
karena negara kelompok berkembang cenderung terlalu bergantung terhadap pasar
luar negeri. Hal ini dapat terlihat dengan kecendrungan Indonesia untuk
mengimpor barang-barang jadi dari luar negeri karena kemampuan Zamrud Khatulistiwa
yang masih rendah untuk memproduksi barang jadi dan hanya mengekspor bahan baku
saja yang nilainya rendah. Selain itu, sikap masyarakat Indonesia itu sendiri
yang memang sering menggunakan barang-barang made in another country dan kurang cinta terhadap barang 100% Indonesia.
Pelemahan rupiah yang seakan menjadi awan hitam yang
menyelubungi Indonesia ini sebagian besar disebabkan oleh faktor eksternal.
Kenaikan tingkat acuan suku bunga oleh The
Fed, Bank nya Amerika Serikat
serta perang antar duo adidaya ekonomi di dunia, USA dan China dianggap sebagai
factor terbesar yang mengilhami fenomena tersebut. Sebenarnya bukan hanya
Indonesia saja yang mengalami pelemahan, negara berkembang lain seperti
Argentina, Brazil, dan juga Turki mengalami hal serupa bahkan lebih parah lagi.
Dengan menigkatnya suku bunga Amerika Serikat, menyebabkan negara adidaya ini bagaikan
gula yang menarik minat banyak orang untuk berinvestasi, sehingga aliran dana
yang masuk ke Amerika sangatlah tinggi, berbanding terbalik dengan negara
berkembang yang cenderung berkurang, karena banyaknya cashout flow. Selain itu, perang dagang yang terjadi mengakibatkan
kelesuan ekonomi khususnya di negara dengan fundamentalnya yang sangat bergantung
dan rentan terhadap keadaan ekonomi internasional. Dalam keadaan tersebut,
investor cenderung untuk mencari mata uang yang nilainya kuat dan stabil,
sehingga permintaan akan dolar AS pun meningkat. Faktor internal sebenarnya
juga memiliki andil walaupun tidak sebesar faktor di atas. Defisitnya neraca
pembayaran di Indonesia menyebabkan eksportir menukarkan rupiah ke dolar
Amerika lebih banyak sehingga permintaan akan dolar ini pun meningkat, yang
mana jika permintaan meningkat maka nilai nya pun akan ikut melonjak. Selain
itu, hutang luar negeri yang dimiliki Indonesia juga menjadi alasan pelemahan,
disebabkan adanya keadaan jatuh tempo dimana ketika hal itu terjadi maka
permintaan akan dolar pun meningkat untuk membayar hutang tersebut.
Jadi, daripada memusingkan dan saling tuduh siapa yang harus bertanggung jawab dalam keadaan finansial di Indonesia ini, lebih baik kita
berkaca pada diri kita serta mengintropeksi apa yang dapat kita lakukan untuk memajukan
perekonomian Indonesia. Karena kita semua sebagai warga negara Indonesia
bertanggung jawab akan hal ini. Memang dalam waktu dekat ini, barang-barang
impor belum dapat kita tinggalkan sepenuhnya, namun mengurangi pemakaiannya
juga dapat berdampak dalam membuat perekonomian Indonesia menjadi lebih baik.
Hal kecil yang dapat kita lakukan juga adalah cintai produk-produk buatan asli
Indonesia disertai dengan kebanggaan dalam pemakaiaanya. Ayo Indonesia Bisa!!!
Sumber gambar : www.liputan6.com
Komentar
Posting Komentar