Kontribusi Santri dalam Perkembangan Bangsa Indonesia




Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman yang begitu tinggi. Begitu banyak perbedaan yang menjadi ciri khas negara rayuan kelapa ini. Suku yang begitu banyak ditambah dengan kebudayaannya yang berbeda-beda, Agama yang berkembang secara berdampingan, termasuk sistem pendidikannya yang banyak berkembang. Salah satu sistem yang terkenal di Indonesia itu adalah pesantren. Pesantren  merupakan sistem pendidikan dimana para siswanya tinggal bersama di sebuah tempat yang disebut asrama dan belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kyai  .Dalam dunia modern, istilah pesantren dikenal juga dengan islamic boarding school dengan sistem kepesantrenan yang lebih modern lagi. Orang yang menimba ilmu di dalam pesantren disebut juga dengan istilah santri, sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren, biasanya menetap di tempat tersebut hingga pendidikannya selesai (santri ~ Kateglo.com).
Pengajaran yang diterapkan pesantren dalam mendidik santri pastinya berhubungan dengan agama, yaitu kitab-kitab Islam atau yang lebih dikenal dengan istilah kitab kuning. Menurut Zamakhsyari Dhofir, pengajaran ini dapat digolongkan kedalam 8 kelompok, yaitu: (1) Nahwu (syntax) danSharaf (morfologi), (2) Fiqih (hukum), (3) Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (theologi), (7) Tasawuf dan Etika, (8) Cabang-cabang lain seperti Tarikh (sejarah) dan Balaghah”. Disamping itu, pesantren-pesantren juga menerapkan pengajaran konvensional sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Hal ini sangatlah dibutuhkan di zaman milenial dimana tantangan zaman tidak hanya bersumber dari yang namanya persaingan mendapatkan pekerjaan, tetapi juga tantangan untuk menghadapi pergaulan yang sudah semakin menyimpang dari norma di masyarakat.

Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan yang namanya Islam.Agama ini merupakan salah satu bahkan agama yang paling berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung dalam berjalannya negara ini.Jika kita berkaca pada masa lalu, bisa dilihat begitu banyak perubahan-perubahan yang dipelopori oleh seorang santri. Sebut saja peran Walisongo dan santri-santrinya yang telah memberi angin segar bagi majunya peradaban, budaya, serta pendidikan di masyarakat yang kala itu masih sangat terbelakang. Pada saat masa pendudukan penjajah Belanda, bangsa kolonial ini sangat membatasi pendidikan dengan mendirikan sekolah yang hanya diperuntukan bagi orang dengan darah biru atau kalangan bangswan, sehingga masyarakat pribumi kelas menengah ke bawah tidak bisa merasakan manisnya pendidikan.Dengan sikap para kolonial yang sangat tidak manusiawi ini, para kyai pun mendirikin sistem madrasah yang diadopsi dari madrasah-madrasah yang mereka temukan ketika menuntut ilmu di Makkah. Selain itu pesantren juga mulai mengajarkan ilmu-ilmu umum, seperti matematika, ilmu bumi, bahasa Indonesia, bahkan bahasa Belanda yang dipelopori oleh pesantren Tebu Ireng pada tahun 1920. Selain itu, para  kyai juga mendirikan pesantren yang diperuntukan untuk kaum wanita.
Untuk menanggapi kegiatan islam, pada tahun  1925 pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan Goeroe Ordonantie, yaitu mengatur bahwa guru-guru agama harus memberikan informasi tertulis tentang pengajarannya kepada pemerintah, namun pada masa ini tidak semua kyai diperbolehkan mengajar. Hal itu dilatarbelakangi oleh perkembangan pesantren-pesantren yang berkembang sangat pesat. 8 tahun kemudian, pemerintah mengeluarkan Wilde School Ordonantie yang mengawasi lalu mentup madrasah dan sekolah yang tidak memiliki izin dan mengajarkan materi yang dilarang oleh pemerintah.Peraturan ini muncul setelah munculnya gerakan nasionalisme-islamisme yang dianggap sebagai hal berbahaya yang merongrong kekuasaan belanda di tanah surga ini.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan kolonial sangatlah merugikan pendidikan islam yang sedang berkembang pada saat itu. Namun, para cendikiawan islam tidak kenal pantang menyerah dan dengan gigihnya terus memperjuangkan pendidikan islam. Sebagai respon terhadap Belanda, Clifford Geertz dalam bukunya Islam Observed: Religious Development in Marocco and Indonesia mencatat empat kali pemberontakan santri (santri insurrection) melawan imperialis Belanda pada abad ke-19 ini. Pertama, di Sumatera Barat (1821-1828). Dalam hal ini penulis tidak menyebutkan pemberontakan santri ini sebagai perang paderi, ia hanya menyebutkan pemberontakan ini sebagai akibat haji-haji yang menentang golongan adat. Kedua, di Jawa Tengah (1826-1830). C. Geertz tidak menyinggung nama Pangeran Diponegoro. Di dalam buku ini hanya menjelaskan bahwa pemberontakan santri muncul akibat tumbuhnya gerakan Mahdi yang melancarkan Perang Sabil terhadap penjajah Belanda. Ketiga, di Barat Laut Jawa. Temapat dan nama pemimpin dari pemberontakan ini tidak dijelaskan secara gamblang. Hanya terdapat implementasi dari pemberontakan ini, yaitu penghancuran rumah-rumah orang Eroma dan Pamong Praja. Pemberontakan ini merupakan respon dari masyarakat yang kemungkinan berasal dari banten. Mereka menuntut penghapusannya program tanam paksa yang sangat menyengsarakan mereka. Terakhir, di aceh (1837-1903). C. Geertz menjelaskan dalam bukunya bahwa pemberontakan yang dilakukan santri ini dapat mengacaukan imperialis Belanda selama tiga puluh tahun.
350 tahun setelah kependudukan Belanda di Indonesia, akhirnya Belanda mengadakan perjanjian dengan Jepang terkait pelepasan Indonesia dari daerah kekuasan Kerajaan Belanda yang lebih dikenal dengan Perjanjian Kalijati. Dampak dari perjanjian ini adalah Indonesia berhasil melepaskan diri dari jajahan Belanda. Namun, pada akhirnya penjajahan itu berlanjut dengan fasisme Jepang sebagai pemilik wilayah. Pemberontakan yang paling terkenal pada masa ini adalah Pemberontakan Santri Pesantren Sukamanah di Tasikmalaya. Perlawanan ini dipimpin oleh pemimpin Pesantren Sukamanah, KH. Zaenal Mustofa. Ia dengan tegas menentang kegiatan seikerei yang memaksa masyarakat Indonesia unruk memberi penghormata kepada Kaisar Jepang dengan cara menundukkan badan atau rukuk ke arah Tokyo. Ia juga melakukan pemberontakan pada tanggal 25 Februari 1944 yang dikenal dengan Pemberontakan Singaparna. 
Bom yang dilancarkan tepat di atas Kota Hiroshima dan Nagasaki menyebabkan keterpurukan Jepang yang saat itu sedang berseteru dengan negara sekutu, akibatnya pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat terhadap sekutu. Kabar menyerahnya Jepang ini tercium oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia. Untuk itu, para revolusioner muda ingin segera memproklamirkan kemerdekaan dan berdirilah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun, dengan dikumandangkannya teks proklamasi tidak membuat negara asing mau begitu saja melepaskan pengaruhnya terhadap negara yang kaya akan sumber daya alam ini. Oleh karena itu, tentara Ingris yang memboncengi NICA datang kembali ke Indonesia untuk mengulang kejayaannya di tanah air tercinta ini. Pemerintah maupun masyarakat tidak terima dengan sikap imperialis yang tidak bisa menerima kemerdekaan Indonesia, oleh karena itu, pada tanggal 22 Oktober 1945, terjadi peristiwa penting yang merupakan rangkaian sejarah perjuangan Bangsa Indonesia melawan kolonialisme. PBNU yang mengundang konsul-konsul NU di seluruh Jawa dan Madura yang hadir pada tanggal 21 Oktober 1945 di kantor PB ANO (Ansor Nahdlatul Oelama) di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya, berdasar amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya yang disampaikan Rais Akbar KH Hasyim Asy’ari, dalam rapat PBNU yang dipimpin Ketua Besar KH Abdul Wahab Hasbullah, menetapkan satu keputusan dalam bentuk resolusi yang diberi nama “Resolusi Jihad Fii Sabilillah”, 
“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)…”

Dalam tempo singkat, Surabaya guncang oleh kabar seruan jihad dari PBNU ini.Dari masjid ke masjid dan dari musholla ke musholla tersiar seruan jihad yang dengan sukacita disambut penduduk Surabaya yang sepanjang bulan September sampai Oktober telah meraih kemenangan dalam pertempuran melawan sisa-sisa tentara Jepang yang menolak tunduk kepada arek-arek Surabaya. Demikianlah, sejak dimaklumkan tanggal 22 Oktober 1945, Resolusi Jihad membakar semangat seluruh lapisan rakyat hingga pemimpin di Jawa Timur terutama di Surabaya, sehingga dengan tegas mereka berani menolak kehadiran Sekutu khususnya ultimatum yang dilancarkan pada tanggal 9 November 1945, sehingga sekutupun melancarkan serangan besar-besaran atas ditolaknya ultimatum itu.Karena itu, tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2015.

Dari penjelasan yang penulis sampaikan di atas, terlihat jelas peran para santri dan pemuka agama yang sangat besar dalam perjuangan merebut maupun mempertahankan Indonesia. Tanpa adanya perjuangan yang dilakukan oleh para santri dan kyai, mungkin saja Indonesia masih dipimpin oleh para imperialis ataupun fasis dan dijadikan sebagai negara boneka. Jihad yang dilakukan oleh mereka bukan semata-mata karena mereka berasal dari Tanah Indonesia tercinta ini, tetapi merupakan sebuah perintah yang ada di dalam agama Islam.  

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah: Berperang pada bulan haram itu adalah dosa besar; tetapi (menghalangi) manusia dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) masjid  al haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar dosanya di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar dosanya daripada membunuh.Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka dapat mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah : 217)


Berikut Hadist yang menjelaskan kepada kaum muslim untuk senantiasa membela bangsanya dari kezaliman,

Ka'ab bin 'Iyadh Ra bertanya, "Ya Rasulullah, apabila seorang mencintai kaumnya, apakah itu tergolong fanatisme?" Nabi Saw menjawab, "Tidak, fanatisme (Ashabiyah) ialah bila seorang mendukung (membantu) kaumnya atas suatu kezaliman." (HR. Ahmad). 

Perilaku para santri dan kyai tempo dulu itu merupakan salah satu sikap yang wajib kita teladani sebagai muslim, khususnya santri. Mengapa demikian? Karena di zaman saat ini dengan perkembangan teknologi dengan segala kemodernitasnya tidak menutup kemungkinan peperangan akan terjadi lagi, tetapi dengan bentuk dan strategi yang lebih efektif, yaitu menghancurkan negara lawan dengan remaja dan pengemban generasi selanjutnya dari sebuah negara sebagai sasarannya. Bentuk-bentuk perang yang bisa dibilang sebagai proxy war ini adalah perang menghancurkan integritas, sikap, mental, dan memengaruhi para penerus genarasi agar mereka tidak cakap dalam memimpin sebuah bangsa. Contohnya adalah narkoba, free sex, gaya kebarat-baratan, masyarakat yang konsumtif, kecanduan internet, dan lain sebagainya. Dampak yang akan ditimbulkan dari perang ini amatlah besar bahkan lebih besar dari perang-perang konvensional terdahulu karena dapat menurunkan kualitas sebuah negara dan meruntuhkannya secara perlahan tanpa ada pihak luar yang dapat disalahkan dengan kejadian tersebut.

Oleh karena itu, sebuah negara harus mempunyai modal untuk menghadapi pengaruh-pengaruh Negara asing yang berusaha masuk maupun yang sudah masuk dan sedang berkembang. Salah satu modal yang sangat berpangaruh dan patut diperhitungkan dalam menghadapi penjajahan akhlak ini adalah dengan melibatkan para santri di Indonesia.Dengan pengajaran-pengajaran yang didapatkan para santri selama di pesantren yang memiliki nilai lebih di bidang agama, sudah sepatutnya santri dapat berperan sebagai tameng penghalang masuknya kebudayaan asing yang dilancarkan negara-negara superior dengan tujuan untuk menghancurkan generasi penerus bangsa, sehingga mereka dapat dengan mudah menguasai Indonesia dengan segala kekayaan yang ada di dalamnya. Selain itu, peran para santri juga sangat dibutuhkan Bangsa Indonesia sebagai agen perubahan akhlak-akhlak masyarakat yang sudah sangat menympang, baik dari segi agama maupun norma di masyarakat. “Pendidikan dalam sebuah pesantren ditujuan untuk mempersiapkan pimpinan-pimpinan akhlaq dan keagamaan.Diharapkan bahwa para santri akan pulang ke masyarakat mereka sendiri untuk menjadi pimpinan yang tidak resmi dari masyarakatnya.” (Departemen Agama, Op. Cit, hal. 74). Ini merupakan penjelasan langsung yang disampaikan oleh Departemen Agama Republik Indonesia mengenai tujuan pesantren dan tujuan santri agar bisa menjadi pimpinan yang tidak resmi dalam artian mereka menjadi contoh yang baik di masyarakat serta mengajak masyarakat kepada kebaikan. Firman Allah SWT yang juga menjelaskan peran santri yang cocok di masa kini untuk khalayak ramai,

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Q.S. At-Taubah: 122).
Dengan uraian-uraian yang telah penulis paparkan, dapat disimpulkan bahwa santri mempunyai kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan Indonesia. Di mulai dari zaman kerajaan islam, usaha perebutan kemerdekaan, usaha mempertahankan kemerdekaan, bahkan sampai saat ini saat Indonesia sedang dihadapkan dengan proxy war dengan generasi penerus bangsa yang digempur habis-habisan dengan kebudayaan maupun teknologi yang membawa mereka kepada jalan keburukan. Oleh karena itu, sudah seharusnya pemerintah dan masyarakat lebih memperhatikan keberlangsungan pesantren-pesantren di Indonesia yang telah mencetak agen perubahan bangsa serta kesetaraan para santri dengan siswa-siswa sekolah konvensional maupun sekolah agama lainnya.

Komentar

Postingan Populer